Penulis: Putri Miftahul Wulandari
SUARA USU, MEDAN. “Keserakahan, penindasan. Manusia benar-benar menjadi sosok yang lebih mengerikan daripada iblis itu sendiri. Sampai pada akhirnya, kedatanganku membuat egomu berlutut di hadapan mahluk kecil tak kasat mata sepertiku”.
Abad ke-21, kepadatan penduduk dan kecanggihan teknologi membuat bumi merintih. “Wahai mahluk kecil ciptaan Tuhan, tolonglah aku. Tidakkah kau lihat manusia semena-mena terhadapku? Lihat apa yang mereka perbuat… Rambutku telah gundul, mereka menebangi pohon untuk dijadikan tisu dan kertas. Hidungku tak lagi mancung, mereka ratakan gunung dan bukit demi emas dan batu bara. Sampah yang mereka hasilkan membuat air mataku menjadi keruh. Polusi yang mereka hasilkan membuat hawa napasku tak lagi sedap. Jerawatku pecah berdarah-darah, karena pertikaian mereka dengan sesama dan mahluk hidup lainnya.
“Sungguh malang nasibmu Bumi, tapi bukankah kau dapat menghukum perbuatan mereka?” Tanyaku dengan heran.
“Sudah kulakukan. Banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, tornado, dan kebakaran liar. Tapi manusia tidak juga peka. Hanya kamulah satu-satunya harapanku, wabah penyakit”.
“Baiklah akan kutegur mereka, agar tidak lagi menyombongkan diri di muka bumi”
Desember, 2019.
Hiruk pikuk pasar seafood Huanan membuat mahluk kecil sepertiku makin bergairah untuk berkenalan dengan manusia.
Sambil mengedarkan pandangan “Ah, coba lihat kios-kios yang saling berhimpit itu. Mereka tidak hanya menjual seafood. Ada kelelawar, serigala, anjing, katak, ular, tikus, babi, musang, landak, koala, buaya, dan salamander”.
“Dasar manusia, memangnya kalian bisa memakan semua itu?”.
Segera kutarik ucapanku, saat kulihat kumpulan wanita muda dengan lahapnya memakan sup kelelawar. Kupikir di pasar ini adalah hal yang biasa, memakan makanan ekstrem seperti itu.
Bagai tamu tak diundang, aku menempel pada mereka. Berharap terjadi interaksi dengan orang lainnya. Sekejap mata, penyebaranku meliputi orang-orang yang singgah ke pasar ini.
Satu per satu manusia mulai tumbang dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter mengidentifikasi adanya Virus berbentuk mahkota yang menyerang sistem pernafasan. Mereka menamaiku “COVID-19”.
Kehadiranku membuat manusia menjadi panik. Lalu aku ditetapkan sebagai pandemi global. Lockdown diberlakukan, orang beramai-ramai memborong masker, hand sanitizer, juga bahan pangan.
Lantas kemudian? hujatan bertubi-tubi diarahkan kepadaku dari segala penjuru, berharap aku segera musnah. Dengan kosakata yang khas: “Enyahlah kau corona… pergi dan jangan ganggu aktivitas kami. Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?” seolah kepergianku membuat dunia ini kembali damai.
Kukatakan dengan tenang “Manusia sendirilah yang membuat manusia itu menderita. Jangan tempeli aku dengan stigma negatif kalian, aku tidak seburuk itu”.
Tampaknya manusia tidak puas, jika aku hanya berbicara tanpa melampirkan bukti.
“Mari, aku tunjukkan”.
Penerbangan internasional membawaku dari China ke negara lainnya. Dan sampailah aku di suatu negeri. Tanpa sengaja kulihat seorang pria memborong sangat banyak masker.
“Egois sekali” pikirku.
Benar, entah berapa banyak apotek yang ia datangi. Kemudian masker-masker itu ia simpan di ruang penyimpanan dalam rumahnya. Selang beberapa minggu, orang mulai mencari masker. Banyaknya permintaan dan sedikit stok membuat harga melambung tinggi. Lalu datanglah ia layaknya pahlawan “Dijual: Masker 500rb/box”.
Bukan hanya masker, tapi alat kesehatan lainnya. Dan yang lebih parah lagi; bahan makanan diborong, disimpan, lalu kedaluarsa dan akhirnya dibuang. Padahal masih banyak orang-orang kelaparan yang membutuhkan.
Dan seharusnya aku akan selesai jika manusia benar-benar peduli dengan peraturan social distancing. Tapi banyak manusia yang ngeyel tetap keluar rumah tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Aku tidak seperti penyakit pribadi, Aku menular! Lebih tepatnya aku adalah permasalahan sosial yang tak akan kunjung usai jika kalian semua tidak bekerja sama.
“Kalau begini caranya, bagaimana rantai penyebaranku bisa terputus? Kalianlah yang membuatku tetap eksis” aku kesal.
Tidak terima, sebagian manusia membalas “jika kami tidak keluar, orang-orang seperti kami ini mau makan apa? Bahkan sepeser uang pun kami tak punya. Tidak mampu membayar sewa tempat tinggal, kami terpaksa menggelandang ke pinggiran jalan”
Mendengarnya, membuatku berlinang air mata.
Hening…
Kedatanganku menjadi saksi, bahwa ada sebagian pemerintahan yang peduli dengan kondisi rakyatnya, dan ada yang tidak peduli dengan rakyatnya. Jika kau beruntung, pemerintah menjamin kesehatanmu dan mensuplai kebutuhan panganmu. Jika kau tidak beruntung, kau akan dibiarkan herd immunity secara alami yang resikonya mati.
“Corona, jangan salahkan negara. Negara juga terpaksa membiarkan kami, karena untuk mengatasi dirimu dibutuhkan dana yang besar. Mau berapa banyak lagi utang negara ini?”, “omong-omong apa kau pernah mendengar kutipan ‘Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!’?” Imbuh manusia.
Hmm… untuk menjelaskannya aku perlu berpanjang madah.
“Aku mengerti, kalian hidup di zaman revolusi industri yang serba canggih. Semua negara pun tak ingin ketinggalan, semua berlomba-lomba meningkatkan ekonomi dengan membangun infrastruktur dan perindustrian. Salah satunya dengan cara berutang, lalu terciptalah kota modern dan pusat perekonomian”.
“Mau tak mau, terpaksa atau tidak. Orientasi negara berubah, menjadi sekuler kapitalis. Karena telah diperbudak oleh konglomerat-konglomerat penguasa modal, pemerintah tak lagi peduli dengan rakyat jelata. Jika pemerintahan menuruti apa kata penguasa modal, dana mengalir deras juga dapat masuk ke kantong mereka. Jika tidak menurut? Siap-siap jabatan itu akan sirna. Kesalahannya terus dicari, dan jika tidak ada maka difitnah. Sampai berakhir hina dihadapan semua manusia”.
“Kemudian, sebagian orang yang tinggal di daerah terkesima, ingin mengadu nasib mendatangi kota-kota. Berharap rezeki lebih, semegah bangunan ibukota. Kukatakan saja ia bernasib mujur, dan mendapat pekerjaan di Ibukota. Beragam jenis pekerjaan membuat aktivitas manusia semakin kompleks. Mobilitas menjadi sebuah keharusan, manusia pun bergerak mengikuti irama; berputar bersama arus kapitalisasi”.
“Tiba-tiba saja aku datang. Untuk mencegah penyebaran, semua manusia diminta berdiam di rumah. Toko-toko sepi pengunjung dan akhirnya tutup. Pegawai-pegawai dirumahkan. Karena permintaan di pabrik berkurang, terjadi pemecatan buruh secara massal”.
“Masyarakat kelas menengah ke bawah adalah orang yang paling khawatir. Persediaan uang dan makanan semakin menipis. Cicilan dan pajak harus terus dibayar. Sedangkan tidak ada pemasukan”.
“Sampailah pada kondisi yang kalian keluhkan. Beruntungnya, masih ada orang-orang peduli” selesai juga penjelasanku.
Manusia: “Ya, kamu benar. Terpujilah orang-orang dermawan, yang memberikan donasi kepada mereka yang membutuhkan di luar sana. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka”, “Lalu, dari sekian banyak penjelasanmu? Dimana letak kebaikanmu?”
Aku: “Manusia, karunia Tuhan begitu luas. Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, tapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah”. “Masih ingatkah kau, dulu sebelum ada bunga utang dan penarikan upeti. Kalian hidup bahagia, aman dan sentosa. Jika saja aku datang pada masa itu, kalian tidak khawatir akan
kelaparan. Biar alam dengan mekanismenya memberi kalian kecukupan, kalian hanya perlu tenang dan aku pergi”.
“Tapi kini, bagaimana bisa alam memenuhi kebutuhan kalian? Sedangkan ia telah rusak. Akhirnya kalian hanya bisa menggantungkan hidup pada korporasi. Sumber air yang semula jernih dan bisa kalian minum, kini terkontaminasi oleh sampah dan limbah pabrik. Kalian pun bergantung pada air-air dalam kemasan yang harus dibeli dengan harga yang semakin tinggi”.
“Kedatanganku hanya untuk mengingatkan kalian…”,
“Kembalilah kepada fitrah, hiduplah selaras dengan alam”
“Berkat aku, langit kembali indah dan polusi berkurang. Berkat aku, kalian jadi lebih peduli dengan kebersihan diri dan lingkungan. Berkat aku, kalian berolahraga dan menjadi bugar. Berkat aku, kalian makan-makanan sehat dan petani lokal pun bahagia”
“Disamping itu, kalian bisa lebih mengenal diri sendiri. Kalian bisa menilai mana orang-orang berengsek, mana orang-orang yang berhak diperjuangkan. Kalian bisa menilai kecakapan sebuah pemimpin dalam mengambil keputusan. Lebih banyak berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan pola hidup bersih dan sehat, bumi ikut sehat”.
Setelah ini semua berakhir, keluarlah dari persembunyianmu, manusia… Tatap langit indah ibukota yang bebas polusi. Lalu, bertebaranlah di muka bumi mencari karunia Tuhan. Berjanji padaku kalian takkan merusak bumi. Aku pamit.
Salam manis: Corona
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.