Oleh: Salsabila Nandyta BR Bangun, Febrianti Pasaribu, Arsalina Fajrah, Deffy Illyarisyah Putri, Riris Roida Yanti Sianturi, Vivi Amanda Aulia, Silvia Dwiwarni Mendrofa.
Suara USU, Medan. Munandar menyebutkan bahwa keluarga dalam arti kata sempit merupakan kelompok sosial terkecil dari masyrakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Definisi tersebut sesuai dengan pandangan banyak orang yang menganggap bahwa keluarga baru dapat dikatakan utuh jika terdiri dari 3 unsur yaitu ayah, ibu dan anak. Anak dianggap sebagai unsur yang harus ada agar keluarga menjadi lengkap. Namun belakangan, fenomena childfree menjadi fenomena yang hangat hampir di seluruh dunia. Childfree adalah sebuah sebutan yang digunakan kepada sepasang suami istri yang memutuskan tidak ingin memiliki anak setelah pernikahan.
Di Eropa, pada abad ke-16 mulai berkembang suatu tindakan dimana para perempuan menunda pernikahan hingga usia pertengahan 20-an. Kemudian sekitar Tahun 1800-an tingkat wanita lajang di Eropa semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan wanita pada saat itu untuk meningkatkan karir dan dapat bekerja dengan maksimal tanpa perlu memikirkan tentang repotnya mengurus anak. Kemudian, istilah childfree pertama kali muncul pada akhir abad ke-20 dan berkembang hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, childfree merupakan suatu opini yang masih sangat tabu. Fenomena childfree dianggap tidak sesuai dengan slogan yang terkenal di Indonesia yaitu “Banyak Anak Banyak Rezeki”.
Awal Tahun 2023, dunia maya Indonesia dihebohkan dengan isu childfree. Isu ini berawal karena adanya statement dari seorang Youtuber sekaligus Influencer, Gita Savitri. Gita menyebutkan bahwa childfree merupakan salah satu rahasia terlihat awet muda. Statement yang disampaikan oleh Gita menuai banyak komentar negatif dari masyarakat Indonesia. Banyak netizen manganggap statement dari Gita Savitri ini terlalu berlebihan sebab menganggap anak sebagai beban.
Kontra nya netizen Indonesia terhadap pernyataan Gita Savitri didasari oleh masih tabunya isu childfree ini di Indonesia sendiri. Seperti yang diketahui bahwa slogan “Banyak Anak Banyak Rezeki” sudah lebih dulu dipercaya oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Slogan ini berawal karena adanya sistem “tanam paksa” di Indonesia yang ada pasa masa kolonial Belanda. Belanda membagikan tanah kepada para petani untuk ditanami dengan komoditas ekspor, kemudian Belanda akan menagih pajak tanah dari para petani. Pajak tanah yang besar, kemudian menimbulkan kecenderungan petani untuk memiliki banyak keluarga agar lebih banyak tenaga kerja yang membantu menggarap tanah. Karena tuntutan inilah banyak perempuan dan anak-anak yang ikut turun ke lapangan, sehingga slogan “Banyak Anak Banyak Rezeki” tertanam dalam pemikiran masyarakat Indonesia.
Selain anggapan bahwa childfree tidak sesuai dengan slogan terkenal Indonesia “Banyak Anak Banyak Rezeki”, childfree juga dianggap beresiko menggeser pengamalan Dasar Negara Indonesia, yakni Pancasila. Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan masyarakat religius yang mengakui keberadaan Tuhan. Artinya masyarakat mengakui adanya Tuhan dengan menganut suatu agama dan menjalankan apa yang diperintahkan dalam agama yang dianut.
Dalam Agama Islam, yaitu pada Al-Quran dan Hadist tidak ada ayat yang secara langsung menyebutkan untuk pasangan suami istri agar memiliki anak. Namun dalam QS. Al-Furqan [25]:74 dan QS. Al-Kahfi [18]: 46 terdapat anjuran agar melanjutkan keturunan dengan memiliki anak. QS. Al-Furqan [25]:74 memiliki arti “Dan orang-orang yang berkata “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa””. Ayat ini menunjukkan bahwa anak dapat menjadi penyenang hati bagi orang tuanya, yang berarti bahwa dalam Agama Islam, pasangan suami istri yang telah menikah dianjurkan untuk memiliki anak.
Selain dalam Agama Islam, dalam Agama Kristen juga terdapat anjuran untuk memiliki keturunan. Seperti yang terdapat dalam Kejadian. 1: 28 yang berbunyi “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segara binatang yang merayap di bumi””. Kemudian dalam Mazmur. 127: 3 yang berbunyi “sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah”. Ayat Al-Kitab dalam Agama Kristen juga menunjukkan anjuran untuk memiliki anak.
Berdasarkan ayat dalam Al-Quran dan Al-Kitab, menunjukkan bahwa dalam Agama Islam maupun Agama Kristen tidak ada larangan langsung untuk tidak memiliki anak atau childfree, namun kedua agama itu menganjurkan penganutnya untuk memiliki anak dan melanjutkan keturunan. Sehingga apabila dikaitkan dengan sila pertama Pancasila, tidak dapat dikatakan bahwa tindakan childfree bertentangan dengan Pancasila. Hanya saja, tindakan childfree dapat beresiko menggeser nilai dan pengamalan dari sila pertama tersebut.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dengan Dosen Pengampu: Onan Marakali Siregar, S.Sos, M.Si.
Redaktur: Anna Fauziah Pane
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.