SUARA USU
Sastra

Hukum Karma itu Nyata

Gambar: pixabay

Oleh: Arnoldus Prima Naibaho

Suara USU, Medan. Dikisahkan ada dua orang sahabat yang sudah sahabatan sejak mereka masih duduk di taman kanak-kanak. Saat itu mereka sama-sama berasal dari keluarga yang kaya, hingga pada suatu hari perusahaan keluarga Rani mengalami kebangkrutan dan terlilit hutang sehingga dia jatuh miskin.

“Kenapa muka ayah terlihat murung?” Tanya Rani melihat ayah baru sampai ke rumah.

“Maafin ayah, Nak, perusahaan kita sudah bangkrut karena ayah tidak bisa membayar hutang ke bank. Harta dan semua aset-aset kita ludes disita bank,” kata ayah sambil menunjukkan raut kesedihan.

“Apa? Kok bisa yah? Rani terkejut mendengar ayah berkata bahwa mereka bangkrut.

“Maafin ayah ya, Nak. Ini sudah jalan takdir kita, kamu harus bisa belajar menerimanya.”

“Baik, Yah, Rani akan berusaha untuk menerima kondisi kita yang sekarang.”

“Sekarang kamu kemas barang-barang kamu dan barang adikmu, kita akan meninggalkan tempat ini. Ayah sudah mencarikan tempat untuk kita tinggal sementara sampai ayah berhasil membangun kembali bisnis ayah.”

“Baik, Yah, Rani akan segera membereskan barang-barang Rani.”

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, surat pemberitahuan pembayaran uang sekolah yang sudah jatuh tempo pun menghampiri Rani. Rani yang belum mempunyai cukup uang  untuk membayar uang sekolahnya pun mencoba meminta bantuan Rina yang merupakan sahabatnya sejak kecil.

Saat itu, di ruangan kelas, mereka sedang melakanakan regu piket yang terdiri dari Rani, Rina, Evi, Bella dan Tasya.

“Rin, aku boleh minta bantuanmu?” tanya Rani.

“Apa? Membantumu? Emangnya kita pernah kenal?”

“Ini aku Rani, sahabat kamu dari kecil. Masa kamu lupa.”

Rani terus membujuk Rina untuk mengakuinya sebagai sahabat, tetapi sepertinya Rina sudah berubah, bahkan secara terang-terangan mengumpat dengan kata-kata kasar yang menyakiti hati Rani.

“Maaf, ya, aku ga pernah tuh punya sahabat seperti kamu yang miskin dan tidak punya apa-apa. Ga level kali,” kata Rina.

“Tega kamu, Rin, masa kamu ga mengakui aku sebagai sahabat hanya dengan kondisi kita sekarang berbeda.”

Suasana semakin tegang sehingga teman satu kelas mencoba melerai perdebatan antara mereka.

“Ada masalah apa ini,kenapa ribut-ribut?” Sambung Elvi.

“Tidak ada apa-apa, Vi. Cuma ada sedikit kesalahpahaman saja. Bukan begitu Rin?”

“Begini Evi, si Rani mau minta bantuan kepadaku, tapi aku tidak mau membantunya. Pakai acara ngaku-ngaku jadi sahabatku lagi. Ogah banget sahabatan sama dia,” Rina menyambung dan memberikan jawaban kepada Evi.

Dengan rasa kekecewaan yang mendalam menyelimuti perasaan Rani, ia pun dengan tergesa-gesa meninggalkan kelas.

“Jangan begitu dong sama Rani. Bukannya kamu dari kecil sudah sahabatan? Bahkan SD sampai SMA kalian satu sekolah. Jangan hanya karena kondisi keluarganya sedang susah, kamu ga mau menggangapnya sebagai sahabat. Justru dimasa sulit seperti ini, seorang sahabatlah sebagai orang kedua selain ayahnya yang menyokong dia supaya beban yang dipikulnya menjadi lebih ringan.”

Evi tidak ingin persahabatan mereka hancur hanya karena kondisi keluarga mereka berbeda. Tidak hanya Evi yang menasehati Rina, tetapi teman-teman yang lain juga. Namun Rina menganggap semua ocehan itu hanyalah sebuah angin lalu tanpa ada rasa ingin meminta maaf kepada Rani.

Bella yang geram terhadap sikap Rina pun membentak Rina dengan intonasi keras seraya berkata, “Sahabat macam apa kau ini! Cuma ada disaat senang, hilang disaat susah.”

“Entah apa yang merasuki anak ini,” pikir Bella dalam hati.

Rina yang geram mendengar nasehat temannya melontarkan kata-kata kasar itu terpancing emosi, “Emang siapa kalian? Sok-soksoan mau menasehati orang lain. Urus aja hidupmu, baru urus kehidupan orang lain!”

Selepas mengatakan itu, heninglah suasana di kelas dan dadang pun meninggalkan kelas.

“Entah setan apa yang merasuki pikiran anak itu, sampai-sampai dia tega tidak menganggap sahabatnya sejak kecilnya, Rani.”

“Entahlah. Setidaknya kita sudah mengetahui sikap asli Rani yang hanya mau berteman sama orang-orang yang kaya saja. Berteman ya berteman ajalah, yakan. Ngapain harus milih-milih? Apalagi cuma karena perbedaan harta kekayaan.”

Bel pulang sekolah pun tiba. Anak-anak dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing, tetapi Rani disuruh menghadap ke ruang kepala sekolah.

“Permisi, Pak, apa memanggil saya?”

“Begini saudari Rani, berhubung masa pembayaran uang sekolah sudah jatuh tempo dan sampai saat ini kamu belum melunasinya, maka dengan terpaksa pihak sekolah mengeluarkan kamu sampai kamu bisa melunasi uang sekolah. Mohon maaf sekali, pihak sekolah tidak bisa membantu kamu.”

“Baik, Pak, tidak apa-apa. Ini sudah menjadi resiko saya karena belum bisa melunasi pembayaran uang sekolah.”

Rani pun pulang dengan wajah lesu ke rumah. Ayahnya yang mendengar bahwa Rani putus sekolah pun sangat sedih dan meminta maaf kepada Rani karena belum bisa membayar uang sekolahnya dan belum mendapatkan pekerjaan tetap. Uang simpanan sekarang cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan membayar kontrakan.

Sebagai anak satu-satunya, dia tidak mau membebankan ayahnya dengan mencari pekerjaan dan akhirnya dia berhasil menemukannya dan bekerja sebagai petugas kebersihan di pusat kota Nagoya.

Suatu hari, ketika Rani sedang bertugas membersihkan sampah-sampah di jalanan datanglah mantan sahabatnya, Rina bersama teman-temannya yang hendak pergi sekolah tetapi melihat Rani dan mengolok-olok Rani yang sedang bekerja.

“Lihat itu bukannya Rani?” ucap Tasya ke temannya.

“Iya itu Rani. Sedang ngapain dia di sana? Bukannya sekolah malah keluyuran,” Bella menimpa  pernyataan Tasya

“Hahahaha. Pasti dia sedang memungutin sampah. Sungguh amat malang nasibnya sekarang,” seru Rina yang sangat Bahagia melihat kondisi Rina yang sekarang.

“Ssssst. Jangan ngomong begitu. Mari kita samperin dia.”

Mereka pun menghampiri Rani dan menyapanya.

“Ran, sedang apa kau di sini? Sudah sebulan kok ga masuk sekolah?”

“Kami kira kamu sakit, Ran, makanya kami mau menjenguk kau, tapi kami ga tahu alamat rumahmu yang baru dimana dan kebetulan kami melihat kau dari sebrang sana.”

“Seperti yang kalian lihat, aku sedang bekerja membersihkan jalanan.”

“Nah, benarkan kataku tadi. Dia sedang memungut sampah. Kalian seperti tidak tahu saja pekerjaan orang miskin bagaimana.”

“Sudah.. sudah. Mau bagaimanapun dia kan sahabatmu, Rin.”

“Sahabat dari mana? Dari hongkong iya juga.”

“Emang kenapa kamu ga masuk sekolah, Ran?”

“Begini, Bel, orang tua saya sudah jatuh miskin karena perusahaanya bangkrut, sedangkan aku masih punya adik untuk disekolahin. Oleh karena itu, aku mengalah dan memilih bekerja untuk membiayai sekolah adikku dan kebutuhan keluargaku.

“Sungguh mulia sekali hati kamu, Ran,” ucap Tasya sambal mendengar ucapan Rani.

“Mulia apanya? Dia hanya mau mencari muka sama kalian. Mau aja kalian dibodohin sama muka polos seperti dia.”

“Tega kau berkata begitu samaku, Rina. Ingat, aku ini sahabatmu walaupun kau tidak menganggapnya. Walaupun sekarang aku miskin, tetapi aku masih punya perasaan dan harga diri yang tidak bisa direndahkan. Kalau kau tidak mau bersahabat denganku, ya sudah, tetapi jangan kau hina kondisiku yang sekarang ini. Hukum karma itu ada. Jadi, suatu saat kau akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Camkan itu!!”

Rani pun berlari meninggalkan mereka sambil menangis karena mendengar mantan sahabatnya mengatakan hal buruk kepadanya.

“Sudah puas kau menyakiti putri?” sahut Tasya yang kesal sama Rina

”Iya betul itu,” ujar Evi dan Bella secara serentak.

“hahaha,.tidak mungkin. Keluarga ku tidak akan mungkin jatuh miskin seperti dia. Buktinya keluargaku memiliki banyak usaha dan menghasilkan banyak uang dan tidak akan habis selama sepuluh generasi sekalipun, hahaha,” sambil tertawa dewi meninggalkan mereka.

“Sombong sekali anak itu. Semoga hidupnya baik-baik saja.”

“Iya, betul. Semoga hidupnya baik-baik saja. Memang benar, dalam realitanya, uang memegang peranan penting dalam hubungan pertemanan. Ini merupakan degradasi moral dan tidak boleh menular kepada kita ya, Kawan.”

“Iya betul,” sahut serentak dari Tasya dan Devi.

Dan akhirnya mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke sekolah.

6 tahun berlalu, Rani yang dulu sebagai petugas kebersihan sekarang sudah sukses dan hidup bergelimang harta, karena dulu ada orang yang mau membiayai Rani sekolah hingga sukses sampai saat ini.

Berbanding terbalik dengan Rina, ia dan keluarganya jatuh miskin sehingga dia tidak bisa melanjutkan kuliahnya dan hidup melarat seperti yang Rani lalui dahulu.

 

Redaktur: Zukhrina Az Zukhruf


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Bersemayam di Perut Ibu

redaksi

Aku Bebas

redaksi

Semangat Kemerdekaan

redaksi