Penulis: Syaharani
Suara USU, Medan. Jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh penduduk Indonesia, pemerintah telah menerapkan sistem jaminan sosial nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Program ini bertujuan untuk memberikan perlindungan finansial serta menjamin ketersediaan dan keterjangkauan layanan kesehatan yang komprehensif bagi peserta.
Meskipun BPJS Kesehatan telah memberikan dampak positif dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, masih terdapat sejumlah tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh peserta dalam mengoptimalkan manfaat dari program tersebut. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi akses peserta terhadap layanan kesehatan yang optimal, antara lain, keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan prosedur, kendala geografis dan transportasi, hambatan ekonomi, serta kesulitan dalam mengnavigasi sistem layanan kesehatan yang kompleks.
Peran pekerja sosial menjadi sangat penting dalam membantu peserta BPJS Kesehatan menghadapi tantangan tersebut. Sebagai profesi yang berorientasi pada promosi perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan, serta pemberdayaan dan pembebasan masyarakat, pekerja sosial memiliki keterampilan dan pengetahuan yang unik dalam memfasilitasi akses terhadap layanan kesehatan bagi individu, keluarga, dan komunitas.
Melalui pendekatan holistik dan berbasis kekuatan, pekerja sosial dapat memberikan intervensi yang mencakup aspek individu, keluarga, komunitas, serta lingkungan sosial dan kebijakan. Intervensi tersebut dapat meliputi pendampingan, advokasi, pemberdayaan, serta kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi hambatan dan memastikan peserta BPJS Kesehatan dapat mengakses layanan yang dibutuhkan secara optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengeksplorasi berbagai intervensi yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial dalam memfasilitasi peserta BPJS Kesehatan untuk mengakses layanan kesehatan yang optimal. Melalui pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, penelitian ini akan menganalisis praktik-praktik terbaik dari pekerja sosial dalam memberikan pendampingan, advokasi, dan pemberdayaan bagi peserta BPJS Kesehatan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode case work dari Zastrow. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pekerja sosial yang mendampingi peserta BPJS Kesehatan, observasi partisipan, dan studi dokumen. Analisis data dilakukan secara tematik untuk mengidentifikasi intervensi pekerja sosial dalam membantu peserta mengakses layanan kesehatan. Selanjutnya, efektivitas intervensi dievaluasi dan rekomendasi praktis diberikan. Metode ini dipilih untuk memperoleh pemahaman mendalam tentang intervensi pekerja sosial
Akses terhadap layanan kesehatan yang optimal merupakan hak bagi setiap peserta BPJS Kesehatan. Namun, terdapat berbagai hambatan yang dapat menghalangi peserta untuk memperoleh layanan yang dibutuhkan. Hambatan tersebut antara lain keterbatasan pengetahuan tentang hak dan prosedur, kendala geografis dan transportasi, hambatan ekonomi, serta kesulitan dalam mengnavigasi sistem layanan kesehatan.
Layanan kesehatan yang optimal mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, penerimaan, dan kualitas pelayanan. Ini meliputi akses terhadap fasilitas kesehatan, tenaga medis, obat-obatan, serta tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang sesuai dengan kebutuhan individu. Selain itu, layanan kesehatan yang optimal juga harus memperhatikan aspek kesetaraan, keamanan, dan kenyamanan bagi pasien.
Untuk memastikan peserta BPJS Kesehatan dapat mengakses layanan yang optimal, dibutuhkan upaya dari berbagai pihak, termasuk peran pekerja sosial. Melalui intervensi seperti pendampingan, advokasi, dan pemberdayaan, pekerja sosial dapat membantu mengatasi hambatan dan memfasilitasi akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas bagi peserta BPJS Kesehatan, terutama bagi kelompok rentan dan kurang beruntung.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Implementasi kedua undang-undang tersebut membentuk dua badan BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. BPJS Kesehatan menanggung pelayanan kesehatan peserta meliputi pelayanan kesehatan tingkat pertama dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang ditanggung meliputi administrasi, pelayanan promotif dan preventif, pengobatan medis, tindakan medis non spesialistik, pelayanan obat, transfusi darah, pemeriksaan penunjang laboratorium tingkat pertama dan rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang ditanggung berupa pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Pelayanan rawat jalan yang ditanggung berupa administrasi, pemeriksaan dan tindakan medis spesialistik dan sub spesialis, pelayanan obat, pelayanan alat kesehatan implant, pemeriksaan penunjang lanjutan sesuai indikasi, pelayanan darah, rehabilitasi medis, pelayanan kedokteran forensic dan pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
Pelayanan rawat inap baik non intensif dan intensif juga ditanggung. Sejak 1 Januari 2014 Pemerintah menetapkan Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan sebagaimana pernyataan pasal 5 UU No. 40 thun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN merumuskan Program Jaminan Kesehatan dengan prinsip dasar dalam pasal 19 ayat 1 yakni berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial yakni; kegotongroyongan, antara yang warga yang mampu dengan warga yang tidak mampu dan warga yang sehat dengan warga yang sakit.
Kepesertaan bersifat wajib sehingga seluruh warga dapat terlindungi. Prinsip nirlaba, artinya dana yang terkumpul dari iuran akan digunakan untuk manfaat bersama dan warga. Terakhir, prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas dalam hal pengelolaan dana JKN. Sedang, prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu.
Faktor-faktor penghambat pelaksanaan BPJS kesehatan bagi warga masyarakat
- Masalah tarif dan obat-obatan: Saat masih peserta jaminan kesehatan sebelumnya (askes, jamsostek, jamkesmas atau KJS) penyakit tertentu pengobatan untuk pasien dapat terfasilitasi. Tetapi setelah diberlakukannya BPJS Kesehatan, pengobatan tidak sepenuhnya terfasilitasi. Akibatnya, pasien harus membayar dengan biaya pribadi atau biaya obat dibebankan kepada pasien.
- Masalah kepesertaan Masih banyak penduduk miskin, seperti gelandangan, pengemis, anak telantar belum termasuk dalam kepesertaan PBI (Penerima Bantuan Iuran).
- Masalah mutu pelayanan kesehatan: Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit masih terdapat masalah. Kurangnya sejumlah fasilitas kesehatan seperti kamar untuk pasien. Karena masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan non pemerintah yang belum bekerja sama dengan BPJS. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan juga menjadi persoalan. Disebabkan tenaga kesehatan di Indonesia masih belum tersebar dengan merata. Keterbatasan tenaga kesehatan akan berdampak terhadap kesehatan pasien karena tidak tertangani dengan cepat.
- Masalah rujukan: Sistem rujukan yang masih kurang pengaturannya, akibatnya peserta banyak yang tidak mengetahui sistem rujukan sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Pasien harus mendapat rujukan dari fasilitas tingkat pertama (klinik atau puskesmas) sebelum ke tingkat fasilitas kesehatan berikutnya (Rumah Sakit). Disinilah persoalan terjadi, banyak peserta datang ke fasilitas tingkat kedua tanpa mendapat rujukan dari fasilitas tingkat pertama.
Pada poin 1 dan 2 secara langsung disebabkan oleh produk turunan dari peraturan pemerintah yang berkaitan mengatur tentang jaminan kesehatan sehingga merugikan peserta:
- Terdapat Peraturan Pemerintah (PP) 101/2013 tentang PBI (Penerima Bantuan Iuran). Akibatnya, masih terdapat jutaan kaum rentan tidak memiliki jaminan kesehatan.
- Sistem INA-CBGs merupakan sistem paket yang bisa membatasi tarif pelayanan kesehatan terhadap peserta. Pembatasan biaya tersebut tak terlepas karena regulasi terhadap program JKN yang ditetapkan Permenkes No. 69 Tahun 2013. Akibatnya, tidak hanya pasien yang merasa dirugikan atas kebijakan ini tetapi semua jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS juga dirugikan dengan sistem pembayaran yang murah tersebut. Hal tersebut juga membuat banyak fasilitas kesehatan non pemerintah mengurungkan niat untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
- Belum optimalnya sosialisasi Program BPJS yang menyentuh langsung pada masyarakat sasaran khususnya, kelompok akar rumput.
- Masih banyak peserta yang menggunakan Kartu Jamkesmas (JKN) yang telah menyadari bahwa secara otomatis pemegang kartu tersebut juga telah menjadi peserta BPJS Kesehatan melalui program JKN. Namun ada kelompok pemegang kartu jamkesmas yang sekarang tidak masuk peserta BPJS seperti gepeng, penghuni panti, penghuni lapas/rutan.
- Masih banyak dari kalangan masyarakat yang belum mengerti bahwa penyelenggara jaminan kesehatan telah berubah ke BPJS yang menerapkan mekanisme berbeda dengan penyelenggaraan yang dulu (PT Askes, PT Asabri dan PT Jamsostek)
- Proses mekanisme pelayanan/prosedur yang dilakukan oleh BPJS masih tergolong rumit sehingga menyebabkan peserta BPJS dari masyarakat miskin masih kebingungan dalam mengurusnya;
- Belum adanya data kepesertaan JKN secara terpilah untuk memudahkan dalam mengidentifikasi kepesertaan BPJS.
- Bagi masyarakat penyandang masalah sosial khusus yang dulu di tangani Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dapat berjalan dengan baik, namun sekarang setelah penjelenggara jaminan sosial kesehatan beralih ke BPJS kesehatan penyandang masalah khusus kurang berjalan lancar karena penyandang tidak lagi terdaftar sebagai peserta BPJS.
Tahapan dan Kegiatan:
- Engagement, Intake, Kontrak, tahap awal ini melibatkan upaya pekerja sosial dalam membangun hubungan yang konstruktif dan saling percaya dengan peserta BPJS Kesehatan. Pekerja sosial melakukan identifikasi awal terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh peserta dalam mengakses layanan kesehatan. Pada tahap ini, pekerja sosial juga menetapkan kontrak atau kesepakatan dengan peserta mengenai tujuan, proses, dan batasan dalam proses pendampingan.
- Proses Assessment, pekerja sosial melakukan assessment untuk memahami situasi yang dihadapi oleh peserta BPJS Kesehatan. Hal ini mencakup identifikasi faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Pekerja sosial juga menggali kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh peserta untuk mengatasi permasalahan tersebut.
- Proses Perencanaan/Planning, berdasarkan hasil assessment, pekerja sosial bersama dengan peserta BPJS Kesehatan menyusun rencana intervensi yang tepat untuk membantu peserta mengakses layanan kesehatan yang optimal. Perencanaan ini meliputi penetapan tujuan, strategi, serta langkah-langkah konkret yang akan dilakukan. Pekerja sosial juga mengidentifikasi sumber daya dan dukungan yang dibutuhkan, serta melibatkan pemangku kepentingan terkait dalam proses perencanaan.
- Proses Intervensi/Implementasi, pada tahap ini, pekerja sosial mengimplementasikan rencana intervensi yang telah disusun. Intervensi dapat berupa pendampingan langsung kepada peserta BPJS Kesehatan dalam mengakses layanan kesehatan, advokasi terhadap hak-hak peserta, pemberdayaan peserta agar mampu mengadvokasi diri sendiri, serta kolaborasi dengan pihak terkait seperti fasilitas kesehatan, lembaga pemerintah, atau organisasi masyarakat.
- Proses Evaluasi, pekerja sosial melakukan evaluasi secara berkala untuk menilai efektivitas intervensi yang dilakukan dalam membantu peserta BPJS Kesehatan mengakses layanan kesehatan yang optimal. Evaluasi ini melibatkan pengumpulan data mengenai perubahan yang terjadi, hambatan yang masih ada, serta pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Intervensi yang dilakukan oleh pekerja sosial terbukti efektif dalam meningkatkan akses peserta BPJS Kesehatan terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan. Pendampingan dan advokasi yang diberikan membantu mengatasi hambatan seperti keterbatasan pengetahuan, kendala geografis, dan hambatan ekonomi yang sebelumnya dialami.
BPJS Kesehatan bertujuan memberikan akses layanan kesehatan yang optimal bagi pesertanya. Namun, terdapat berbagai hambatan seperti keterbatasan pengetahuan, kendala geografis, hambatan ekonomi, dan kesulitan dalam mengnavigasi sistem layanan kesehatan. Pekerja sosial dapat membantu mengatasi hambatan tersebut melalui pendampingan, advokasi, dan pemberdayaan dengan menggunakan metode case work seperti engagement, assessment, perencanaan, intervensi, dan evaluasi. Intervensi pekerja sosial terbukti efektif dalam meningkatkan akses peserta BPJS Kesehatan terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Artikel ini adalah publikasi tugas Praktek Kerja Lapangan dengan Dosen Pengampu Fajar Utama Ritonga S.Sos., M.Kesos
Redaktur : Balqis Aurora
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.