Oleh : Azra Mutya Ramadhania
Suara USU, Medan. Pada Sabtu, 11 November lalu, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen, membagikan sebuah video berdurasi 5 menit 39 detik di akun Instagram resmi mereka, @luthfiyasinofficial. Video tersebut menampilkan dukungan terbuka dari Presiden Prabowo Subianto kepada pasangan calon nomor urut 2 dalam Pilkada Jawa Tengah.
Dalam video tersebut, Presiden Prabowo memperkenalkan dirinya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai pemimpin terpilih periode 2024–2029. Ia menyampaikan tekadnya untuk memimpin pemerintahan yang membawa Indonesia menjadi lebih baik. Prabowo juga mengutarakan kepercayaannya kepada pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin sebagai sosok yang mampu mendukung agenda pemerintah di daerah, dengan latar belakang keduanya sebagai tokoh berpengalaman di Jawa Tengah.
Prabowo menyebut Ahmad Luthfi sebagai Komisaris Jenderal Polisi yang memahami situasi daerah, sementara Taj Yasin merupakan tokoh religius dengan akar kuat sebagai putra dari ulama terkemuka, KH. Maimoen Zubair. Dukungan ini disampaikan dengan kalimat tegas, “Saya mohon dengan sangat, berilah suaramu kepada Jenderal Ahmad Luthfi dan Gus Taj Yasin Maimoen.”
Dukungan ini memicu kontroversi di tengah masyarakat. Sebagai presiden, Prabowo diharapkan menjaga netralitas dalam kontestasi politik, khususnya pilkada. Dukungan terbuka yang ia sampaikan menimbulkan kesan keberpihakan, yang bertentangan dengan harapan publik akan posisi netral seorang kepala negara.
Menanggapi polemik tersebut, Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa pernyataan Prabowo disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. “Sebagai ketua umum partai, beliau menandatangani rekomendasi untuk mengusung calon-calon kepala daerah. Berarti beliau mendukung calon tertentu,” ujarnya.
Namun, poin ini menjadi kontroversial karena pada awal video, Prabowo memperkenalkan dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia, bukan sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Hal ini membuka ruang interpretasi bahwa dukungan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara.
Menurut Pasal 58 huruf a Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), presiden adalah pejabat negara yang terikat oleh ketentuan hukum. Larangan bagi pejabat negara untuk memberikan keuntungan kepada pasangan calon tertentu diatur dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan:
“Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.”
Lebih jauh, Pasal 71 UU 10/2016 juga mengatur sanksi pidana berupa hukuman penjara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu rupiah atau paling banyak Rp6 juta rupiah.
Dalam konteks ini, dukungan yang disampaikan Prabowo dapat dinilai bertentangan dengan aturan hukum yang mewajibkan pejabat negara untuk menjaga netralitas dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Sebagai presiden, tindakan ini berpotensi mencederai prinsip keadilan dan menciptakan persepsi negatif terkait independensi pemerintah dalam proses demokrasi.
Netralitas pejabat negara dalam pemilu bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga etika. Pejabat negara memiliki kewajiban moral untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa proses pemilu berlangsung adil dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Masyarakat perlu memastikan bahwa aturan-aturan yang mengatur netralitas pejabat negara ditegakkan. Dukungan dari pemimpin nasional terhadap salah satu calon harus disampaikan dengan jelas dalam kapasitas politik yang tepat, tanpa mencampurkan peran institusional sebagai kepala negara.
Redaktur : Grace Pandora Sitorus
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.