SUARA USU
Opini

Merenungkan Tragedi G30S/PKI: Mengenang Noda di Kabut Sejarah

sumber: GETTY IMAGES

Oleh: Heflin Laurensia D.

Suara USU, Medan. Setengah abad lebih berlalu, namun luka dan tanda tanya masih menganga. Darah tertumpah, air mata bercucuran, dan kecurigaan menyebar bagai wabah. Bangsa yang baru merayakan kemerdekaannya dua dekade lalu kembali terpecah.

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan negeri, kita seringkali lupa menengok ke belakang. Bagi generasi muda, 30 atau 65 mungkin hanya sekadar angka. Tapi bagi mereka yang mengalaminya, tahun itu adalah titik balik yang mengubah segalanya. Versi resmi menyatakan bahwa PKI berada di balik semua kekacauan ini. Namun, benarkah sesederhana itu? Sejarah, seperti halnya kehidupan, jarang sekali hitam-putih. Ada banyak nuansa abu-abu yang perlu kita telusuri.

Tanggal 30 September malam, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung bergegas merampungkan penculikan enam jenderal dan seorang kapten: Komandan TNI AD, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Letnan Jenderal Suprapto, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.

Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta. Bukan rahasia lagi bahwa peristiwa ini membawa perubahan besar. Rezim berganti, ideologi dilarang, dan ribuan nyawa melayang. Tak hanya itu saja, kisah-kisah personal masih asing dan jarang terungkap. Kisah tentang keluarga yang tercerai-berai, tentang mimpi-mimpi yang hancur, dan trauma yang diwariskan lintas generasi pun seperti sudah terkubur mati. Kita, sebagai pewaris bangsa, punya tanggung jawab untuk mencari kebenaran. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Untuk memastikan bahwa tragedi serupa tak akan terulang.

Buku Gerakan 30 September 1965: Tragedi Bertirai Kabut oleh Pusat Data dan Analisa Tempo. menyebutkan bahwa dalam upaya pembasmian anggota PKI, baik yang dianggap anggota maupun simpatisan, antara setengah juta (menurut catatan Orde Baru) hingga dua juta (menurut versi lain) orang dibunuh di Indonesia.

Pencarian kebenaran ini bukan perkara mudah. Ada banyak versi, banyak sudut pandang. Sehingga kita harus berhati-hati untuk tidak terjebak pada narasi tunggal. Mungkin kita tak akan pernah tahu kebenaran absolut tentang apa yang terjadi. Tapi setidaknya, kita bisa berusaha memahami kompleksitas peristiwa tersebut. Kita bisa belajar bahwa sejarah tak pernah sesederhana yang tertulis di buku teks.

Peristiwa 30 September 1965 yang kerap kita sebut G30S PKI mengajarkan kita betapa rapuhnya persatuan jika digerogoti oleh kecurigaan dan kebencian. Ia mengingatkan kita berulang kali akan bahaya fanatisme buta dan politisasi perbedaan. Tapi di atas semua itu, ia pun menunjukkan betapa pentingnya dialog dan rekonsiliasi.

Sebagai mahasiswa sekaligus generasi penerus, tugas kita bukan hanya mengingat, tapi juga memaknai. Kita harus berani bertanya, berani meragukan, dan berani mencari. Hanya dengan demikian, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik—masa depan yang tak lagi dihantui oleh hantu-hantu masa lalu.

Karena pada akhirnya, kita semua adalah anak bangsa yang sama—bangsa yang pernah terluka dalam noda sejarah, namun terus berjuang untuk pulih dan mengobati Indonesia.

Redaktur: Feby Simarmata


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Pengguna Brand Ternama, Langsung Disegani?

redaksi

Sejarah Universitas Sumatera Utara, Perguruan Tinggi Negeri dengan Penuh Keberagaman

redaksi

Siapakah Capres-Cawapres Pilihan Gen Z?

redaksi