Oleh: Wirayudha Azhari Lubis
Sabtu malam menjadi malam yang panjang bagi seorang nurhadi. Kejadian malam itu benar-benar diluar dugaannya. Nurhadi yang merupakan seorang jurnalis Tempo kala itu sedang mendapatkan tugas dari kantornya. Mendapat tugas mewawancarai salah seorang pejabat yang tengah berada dalam pusaran kasus rasuah pajak.
Rencana awal Nurhadi yang seharusnya hanya mewawancarai Angin Prayitno di acara resepsi pernikahan anaknya angin ternyata berakhir tidak sesuai rencana. Saat itu, ketika Angin masuk kedalam gedung pernikahan dan duduk layaknya tamu. Namun, ia mendapat perlakuan berbeda dari tamu-tamu lainnya. Ia disekap dan dibawa ke mushola belakang gedung.
Timbul pertanyaan di benak Nurhadi, mengapa ia disekap begitu? Ternyata, sejumlah pengawal Angin menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara malam itu. Meski Nurhadi telah menjelaskan statusnya sebagai seorang wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugasnya.
Namun telepon genggamnya tetap dirampas dan diperiksa isinya. Saat akan melakukan perampasan ternyata Nurhadi mendapatkan beberapa kali pukulan. Untuk menjaga agar kasus ini tidak dibawa ke publik, para oknum aparat itu membawa Nurhadi ke sebuah hotel di daerah Surabaya.
Di hotel itu, Nurhadi di interogasi habis-habisan, kemudian dipukul, dipiting, dan ditampar beberapa kali selama 2 jam lamanya untuk memastikan nurhadi tidak akan menceritakan kasus ini ke siapa-siapa. Saat diantar pulang, Nurhadi diberikan uang sebesar 600 ribu untuk tutup mulut.
Narasi di atas menjadi luka hati bagi para jurnalis di Indonesia. Narasi itu juga menjadi citra buruk bagi demokrasi di Indonesia. Kasus kekerasan yang dialami Nurhadi bukan satu-satunya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Banyak pihak yang turut mengecam tindakan represif aparat terhadap jurnalis. Hal ini mengingatkan kita pada zaman Orde Baru, dimana kala itu tidak ada ruang kebebasan, termasuk untuk pers.
Kasus-kasus seperti ini membuat masyarakat bertanya sebenarnya mengapa para aparat sangat represif terhadap para jurnalis. Apalagi jika kasus yang sedang ditangani itu berkaitan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan nama-nama pejabat tinggi.
Seakan-akan para aparat ini sangat-sangat ingin melindungi para tuan-nya untuk tetap aman dalam pusaran kasus-kasus korupsi itu. Ini merupakan citra buruk bagi aparat.
Karena seharusnya aparat merupakan lembaga yang ikut mengayomi masyarakat. Begitu pula pers merupakan lembaga yang ikut mencerdaskan bangsa dengan menerbitkan berita-berita dan informasi yang kredibel.
Luka hati jurnalis harusnya menjadi kecaman bagi pihak aparat untuk tidak lagi menambah banyak deretan kasus terhadap jurnalis yang sedang melakukan liputan. Karena sudah seharusnya pemerintah terus berbenah dan melindungi hak-hak pers, agar informasi yang kredibel dapat dirasakan rakyat kedepannya.
“Kami mengecam dengan keras segala bentuk tindak kekerasan terhadap para jurnalis, dan berharap Pihak berwenang segera mengamankan oknum yang menjadi pelaku kekerasan terhadap Nurhadi,” kata seorang jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU.
Suara USU dengan tegas menolak dan mengutuk tindakan kekerasan terhadap jurnalis di tanah air.
Hidup Pers Indonesia! Salam Pers Mahasiswa!
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.