Oleh: Kurniadi Syahputra
SUARA USU, Medan. Kasus self-plagiarism rektor terpilih Universitas Sumatera Utara (USU), Muryanto Amin, menuai pro dan kontra. Dalam Surat Ketetapan (SK) Rektor USU Nomor: 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 tertanggal 14 Januari 2020, Muryanto dinyatakan plagiasi terhadap diri sendiri atas artikel berjudul: A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra, yang dipublikasikan pada jurnal Man in India yang terbit pada 2017 lalu.
Mengenai kasus plagiat diri sendiri atau self-plagiarism ini memang masih pro-kontra di kalangan para ahli. Stephanie J Bird, penulis Self-Plagiarism and Dual and Redundant Publications: What is The Problems?, menganggap pemakaian istilah itu tak tepat karena definisi plagiat mensyaratkan ada “pihak lain” yang dicurangi. Juga dalam hal pemakaian kembali karya sendiri itu, tak ada pihak lain yang dicurangi. Hal itu yang disampaikan Stephanie, mengutip Kompas.com.
Di sisi lain, David B Resnik, ahli bioetika dari National Institutes of Health, AS, menyetujui istilah self-plagiarism karena di dalamnya ada unsur ketidakjujuran. Tapi, menurut Davis, hal itu memang bukan termasuk pencurian intelektual.
Jonner Hasugian, yang memimpin tim khusus penelusuran dugaan plagiat Muryanto, mengatakan self-plagiarism adalah perbuatan pendaurulangan karya.”Seperti memecah topik dalam beberapa tulisan atau publikasi ganda pada lebih dari satu media atau jurnal,” kata Jonner yang juga Dosen Ilmu Perpustakaan USU itu.
Lanjut Jonner, larangan dosen atau mahasiswa melakukan self-plagiarism itu sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 17 Tahun 2010. Tapi tak disebut secara rinci mengenail self-plagiarisme. “Namun di dalam Permendiknas itu hanya menyebut plagiat secara umum pada Pasal 1. Jadi jangan hanya dilihat self-plagiarismenya, karena plagiat itu bermacam-macam,” ujar Jonner dikutip dari Kumparan.