Oleh: Miranda Situmorang
Suara USU, Medan. Beauty privilege atau hak istimewa kecantikan merupakan fenomena sosial yang telah melintasi berbagai lapisan masyarakat, termasuk di dalam lingkungan kampus. Mahasiswa sebagai bagian integral dari kelompok ini tidak terlepas dari pengaruh dan dampak realitas beauty privilage ini dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dunia kampus adalah tempat dimana interaksi sosial memainkan peran krusial dalam membentuk hubungan dan jejaring. Namun dalam lingkungan ini, beauty privilage seringkali menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika sosial. Individu dengan penampilan yang sesuai dengan standar kecantikan sering mendapatkan lebih banyak perhatian dan akhirnya mendapatkan keuntungan dalam membangun relasi sosial.
Pentingnya penampilan sering kali tercermin dalam bentuk-bentuk subtil, seperti seberapa sering seseorang diundang ke acara sosial, sejauh mana ia terlibat dalam kegiatan kampus, atau seberapa banyak dukungan sosial yang diterimanya. Ini menciptakan ketidaksetaraan dalam kemampuan mahasiswa untuk terlibat sepenuhnya dalam kehidupan kampus, dengan mereka yang dianggap “cantik” memiliki keunggulan dalam membangun hubungan.
Selain memengaruhi interaksi sosial, beauty privilege juga dapat merembet ke ranah akademis. Penelitian telah menunjukkan bahwa penilaian yang positif terhadap penampilan fisik dapat memberikan keuntungan tambahan dalam konteks akademis. Mahasiswa yang dianggap menarik lebih mungkin mendapatkan penilaian yang positif dari dosen dan rekan-rekan sekelasnya.
Keuntungan ini dapat mencakup perlakuan lebih baik dalam penilaian, lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek akademis yang prestisius, dan bahkan dapat mempengaruhi pandangan dosen terhadap potensi akademis mahasiswa. Dengan demikian, beauty privilege menciptakan ketidaksetaraan dalam peluang akademis, yang seharusnya didasarkan pada bakat, dedikasi, dan kinerja.
Ketidaksetaraan yang muncul dari beauty privilege juga memberikan dampak psikologis yang signifikan pada mahasiswa. Individu yang merasa tidak memenuhi ekspektasi kecantikan yang diberlakukan secara tidak langsung di lingkungan kampus dapat mengalami tekanan mental dan rendah diri.
Perasaan ini dapat menjadi hambatan serius dalam perkembangan pribadi dan akademis mahasiswa. Kesadaran diri yang terpengaruh oleh penampilan fisik dapat mengganggu kesejahteraan mental, memengaruhi tingkat kepercayaan diri, dan bahkan meningkatkan risiko masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Menghadapi realitas beauty privilege, langkah-langkah perlu diambil untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan mendukung. Pertama-tama, penting untuk membangun kesadaran akan dampak negatif beauty privilege dan bagaimana hal itu dapat menciptakan ketidaksetaraan di kalangan mahasiswa.
Institusi pendidikan dapat memainkan peran penting dengan menerapkan kebijakan yang mendukung keberagaman dan menghilangkan tekanan sosial yang tidak sehat. Ini dapat mencakup program-program yang mempromosikan penilaian berdasarkan kualitas kepribadian dan prestasi, bukan hanya berdasarkan penampilan fisik.
Selain itu, komunitas kampus dapat aktif menggalang dukungan untuk perubahan ini. Diskusi terbuka tentang beauty privilege dan dampaknya dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada mahasiswa tentang bagaimana norma kecantikan dapat memengaruhi kehidupan mereka. Dengan berbagi pengalaman dan pendapat, mahasiswa dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Redaktur: Grace Silva
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.