SUARA USU
Opini

Aklamasi, Budaya yang Harus Dihindari!

Penulis: Alif Akbar Saragih dan Gracyan Eukario
Suara USU, MEDAN. Mengutip dari KBBI, aklamasi adalah pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara. Aklamasi biasa terjadi di sekitar kita, baik dalam lingkup makhluk sosial, dan juga status kita sebagai Mahasiswa.

Aklamasi yang terjadi di lingkup mahasiswa, terutama sebagai Mahasiswa USU ialah dalam PEMIRA (Pemilihan Raya), baik itu tingkat Fakultas, ormawa, UKM dan tingkat lainnya. Beberapa waktu lalu, terjadi kejadian yang sama dan cukup unik di PEMIRA Fakultas Teknik, Fakutas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Fakultas Keperawatan dan Fakultas Kedokteran Gigi dimana terpilihnya para pasangan calon sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Fakultas tersebut secara aklamasi atau dengan kata lain dalam PEMIRA ini hanya ada satu pasangan calon saja dan dimenangkan secara sepakat.

Walaupun sudah melalui tahap fit and proper test, atau uji kelayakan dan kepatutan, budaya aklamasi tak boleh dibenarkan apalagi ditradisikan. Karena akan merusak iklim demokrasi dan semangat pembaharuan di berbagai tingkat. Tak hanya di fakultas saja problematika krisis kepemimpinan ini terjadi, namun di tingkat HMJ, praktek aklamasi masih banyak kita temui.

Hal ini mungkin terlihat baik karena terkesan ada rasa ‘persatuan’ atau keyakinan yang sama dari para peserta rapat yang hanya menyetujui atau memenangkan satu paslon saja. Tapi, jika kita cermati lebih dalam mengenai aklamasi, budaya atau sikap ini sebenarnya kurang baik bagi sistem demokrasi kita.

Menghilangkan persaingan dan berkoalisi dengan pihak lawan tidak serta merta membuat kesan persatuan tercipta. Persaingan perlu ada sebagai motor penggerak bagi calon pemimpin untuk memaparkan ide yang ia punya dan memberikan argumen terbaik dalam suatu pemilihan demi memenangkan suara pemilih. Dengan adanya persaingan juga pemilih dapat melihat kelayakan dari seorang paslon dengan membandingkan dengan paslon lainnya.

Adanya pembanding antara satu dengan yang lainnya secara tidak langsung akan membuat sistem di mana yang terbaiklah yang akan menang. Pihak yang menang akan menjadi pemimpin, dan yang kalah akan menjadi oposisi untuk mengawasi kinerjanya. Cara ini sudah sesuai sebagai sistem yang baik dalam merawat demokrasi agar ada keseimbangan di dalam demokrasi ini. Hal ini tentu tidak dapat terjadi jika pihak-pihak yang mengusung paslon berkoalisi.

Tidak akan ada adu argumen dan perdebatan soal gagasan. Hal yang lebih buruk lagi kemungkinan terjadinya monopoli sangat besar. Tentu kita sudah melihatnya sekarang ini, bahkan di pemerintahan negara kita. Bagaimana jika pihak oposisi dan pemerintah tidak seimbang, akan terjadi kesewenang-wenangan dan menodai sistem demokrasi.

Jika kita tarik perspektif yang lebih luas, maka kita akan mendapat gambaran yang buruk dari cara pengangkatan pemimpin secara aklamasi. Pihak-pihak yang berkoalisi akan mendapatkan keuntungannya masing-masing, mereka dengan leluasa mengubah atau menetapkan suatu kebijakan karena minimnya opisisi terhadap pemerintahan tersebut. Dengan sistem yang seperti itu dapat dipastikan suatu negara atau organisasi akan rusak.

Jadi, tidak selamanya aklamasi itu baik dan sebisa mungkin harus dihindari. Argumen yang diberikan oleh pihak yang mendukung aklamasi biasanya soal persatuan yang sebenarnya sedikit keliru. Bila kita mengangkat persatuan maka poin yang perlu diingat adalah kita itu seharusnya ‘bersatu’ bukan ‘menjadi satu’. Kalau tidak penerus bangsa yang menyadarinya, bagaimana kehidupan masa depan nanti?

Hidup Mahasiswa!

Hidup Rakyat Indonesia!

Redaktur: Wiranto Asruri Siregar

Related posts

Penerapan E-Tilang dalam Lalu Lintas, Apakah Efektif?

redaksi

Website Kawula 17 Bantu Tentukan Pilihan Capres dan Cawapres

redaksi

Seberapa Penting Circle Pertemanan di Dunia Perkuliahan?

redaksi