SUARA USU
Buku

Belajar Mengendalikan Amarah Melalui Buku Laa TaghDhab: Jangan Marah

Penulis: Fathan Mubina

Suara USU, Medan. Hawa panas naik menuju ubun-ubun, emosi memuncak, rasanya seperti ingin melibas segala apa yang ada di depan. Dunia yang terang benderang, terlihat buram. Mata seakan-akan dipenuhi oleh kabut tebal. Pikiran tak karuan ke mana perginya. Tak pandang bulu, tak terhitung banyaknya nyawa manusia yang menjadi korban karena satu emosi ini. Emosi apakah itu? Yaps benar teman-teman, tentu saja itulah amarah.

Laa Taghdhab (terjemahannya) Jangan Marah adalah buku besutan Aidh Al-Qarni yang bermuasal dari perkataan Nabil Muhammad SAW, yang dalam Bahasa Indonesia berarti “janganlah marah, dan bagimu surga.” Mari kita lihat contoh akibat dari amarah dengan cerita yang ada dalam buku ini.

Suatu waktu Temujin atau yang lebih dikenal dengan Jengis Khan dari mongol, memiliki sebuah peliharaan elang yang sangat dicintainya, berpergianlah Temujin menuju suatu tempat. Selang beberapa waktu, Temujin berada di suatu lembah bersama dengan elang tersebut dan akhirnya kehabisan bekal, perjalanan masihlah terlampau jauh, Temujin mencari sebuah sumber air dan menemukannya di antara bebatuan.

Temujin yang haus, segera menciduk air tersebut, tak disangka, elang milik Temujin mematuk tangan Temujin, sehingga air terjatuh, kedua kalinya Temujin menciduk air dan ingin meminum air tersebut, dipatuklah lagi tangan tersebut. Ketiga kalinya Temujin menciduk air yang berasal dari celah diantara batu tersebut, lagi lagi, elang peliharannya mematuk tangan Temujin. Naiklah amarah memenuhi ubun-ubun, Temujin mengeluarkan pedang, dan seketika menebas elang miliknya itu. Tak lama kemudian Temujin menelusuri sumber air tersebut, dan menemukan tergeletak bangkai ular berbisa di aliran air tersebut. Penyesalan memenuhi pikiran Temujin, seandainya dirinya mengetahui bahwa Elang tersebut mencoba menolongnya, maka tidak akan dibunuh elang tersebut. Penyesalan Temujin berakhir dengan membuat tulisan pelajaran “janganlah berbuat sesuatu ketika amarah memenuhi dirimu.”

Sangat banyak dampak negatif dari marah, bahkan sehari-hari kita sering diperingatkan baik oleh teman, rekan, orang tua, guru, dosen dan banyak orang lainnya, “Jangan marah, nanti cepat tua.”

Apakah nasihat tersebut salah? Tentu saja tidak, hal tersebut merupakan sebuah kebenaran. Marah membuat otot yang digunakan di wajah lebih banyak, sehingga pemakaian otot wajah tersebut dapat mempercepat habisnya masa segar otot wajah. Apalagi di dunia modern ini, penelitian mengenai dampak negatif dari seseorang yang kehilangan kendali dalam amarahnya, baik secara fisik maupun emosional, terbilang banyak.

Amarah membutakan segalanya, amarah membuat seseorang menjadi lupa apa yang ada di hadapannya. Namun yang perlu digarisbawahi oleh banyak orang ialah, amarah bukanlah sebuah Emosi Negatif, amarah bukanlah sebuah kekurangan, melainkan termasuk ke dalam sebuah kekuatan. Yang perlu diperhatikan ialah bagaimana cara seseorang mengendalikan amarah tersebut. Amarah dengan penanganan yang tepat, menjadi sumber kekuatan bagi seseorang untuk melakukan sebuah aktivitas, amarah dengan penanganan yang cepat juga, menjadi sebuah emosi yang dapat menajamkan sebuah pikiran.

Kendali atas amarah haruslah dilatih, tentu tidak mudah dalam melatih amarah. Apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai mahasiswa di kampus, seringkali kita merasakah amarah. Contohnya, ketika kita sampai kampus dan dosen membatalkan kelas sepihak tanpa sepengetahuan semuanya secara mendadak, tentu amarah biasanya langsung memenuhi ubun-ubun kita, yang biasanya membawa kita terhadap tindakan yang merusak, baik merusak secara fisik, maupun merusak secara perasaan.

Namun apabila kita renungi secara lebih jauh lagi, amarah yang membahayakan seperti itu, tentunya harus kita hindari, dengan cara yang bermacam-macam, bisa dengan membaca, menulis, berolahraga, berdiskusi dengan sesama. Atau bahkan ketika kasus di atas terjadi, kita melanjutkan pembelajaran bersama dengan teman-teman sekelas yang sudah sampai. Atau bisa juga kita yang sebagai mahasiswa dituntut untuk membaca, mungkin saja dengan membaca, amarah kita dapat memadam kembali. Mungkin saja dengan diskusi, amarah kita ikut teredam.

Redaktur: Anna Fauziah Pane

 

 

Related posts

Potret Penjajahan di Jawa dalam Novel Fiksi Sejarah “Tanah Bangsawan”

redaksi

Rasa Lewat Kata: Kisah Relate Kehidupan dalam ‘Nonversation’ Karya Valerie Patkar

redaksi

Ditampar Realita Kehidupan Lewat Buku Berjudul Kalo Sensi Jangan Baca Buku Ini

redaksi