Penulis: Nurhasanah Koto
Suara USU, Medan. Sosok penuh inspirasi yang kita kenal dengan panggilan Buya Hamka, memiliki nama asli Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 dan meninggal pada 24 Juli 1981, di usianya yang ke 73 tahun. Memiliki dua istri, di mana istri pertama bernama Siti Raham, lalu setelah istri pertamanya meninggal dunia, ia menikah lagi dengan wanita bernama Siti Khadijah. Dari kedua istrinya ia memiliki 12 anak.
Buya Hamka merupakan seorang sastrawan, politisi, wartawan, penulis, dan bahkan pendakwah. Panggilan “Buya” yang disematkan pada namanya merupakan panggilan untuk seorang ayah yang dihormati sekaligus disayangi dalam bahasa Arab.
Ia menyelesaikan pendidikannya di Mekah dan kembali ke Indonesia untuk merintis karir disini.
Buya Hamka sering kali datang bahkan menetap di Medan, hingga ia menghasilkan banyak karya di kota yang sangat dia sukai buah duriannya ini. Beberapa karya yang ia hasilkan ketika di Medan ialah, buku berjudul “Dibawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Namun, buku-buku ini terinspirasi dari keadaan masyarakat Minang.
Dilansir dari wikipedia, pekerjaan pertama Buya Hamka di Indonesia adalah sebagai wartawan, lalu ia mempelajari sastra hingga menghasilkan banyak karya. Pada tahun 1950, Buya Hamka datang ke Jakarta bersama keluarganya. Ia pernah mendapatkan pekerjaan di Departemen Agama sebelum akhirnya mengundurkan diri agar dapat ikut dalam pemilu (pemilihan umum) pada tahun 1955. Ia mewakili partai Masyumi dan terpilih menduduki jabatan Konstituante dalam pemilu tersebut.
Namun, ideologi Komunis yang marak di masa kepemimpinan presiden Soekarno membuatnya tegak sebagai penentang ideologi tersebut, lewat karya-karyanya ia menyampaikan pertentangangannya. Salah satu karyanya adalah tulisan yang berjudul “Demokrasi Kita”. Organisasi kebudayaan Lekra yang mulai mengetahui pertentangan Buya Hamka lewat karya-karyanya tersebut langsung menyerang Buya Hamka. Bahkan ia dituduh melakukan gerakan subvertif yang menyebabkan ia ditahan di Sukabumi pada 1964. Di dalam tahanan ia produktif dengan merampungkan tafsir al-Azhar, hingga dibebaskan pada Mei 1966.
Buya Hamka kemudian terpilih menjadi ketua MUI di masa pertama pembentukan MUI, masa pemerintahan Soeharto. Namun ia mengundurkan diri karena ditekan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan natal bersama bagi umat Islam. Meski begitu Buya Hamka tidak menaruh dendam kepada siapapun yang menyakitinya. Baginya setiap hal yang terjadi selalu dapat dipetik hikmahnya.
Buya Hamka juga berpandangan bahwa ilmu dan akal diperuntukkan bagi manusia untuk mengenal Tuhannya. Jadi apapun latar belakang kita, kita harus berusaha membuka mata dan pikiran lewat ilmu dan akal untuk mengukuhkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Segala pemikiran dan perilaku positif yang ditunjukkan Buya Hamka sudah sepatutnya kita tiru dan teladani agar dapat membangkitkan bersama negeri ini. Dan segala kekurangan dan pertentangan yang terjadi tidak seharusnya memecah-belah kita. Karena setiap manusia memiliki kekurangannya masing-masing. Kekurangan ada untuk menjadikan masa depan kita lebih baik.
Redaktur Tulisan : Orsella Nuraina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.