Penulis: Yulia Putri Hadi
Suara USU, Medan. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Mungkin kalian sudah tidak asing lagi dengan bait puisi di atas. Ya, puisi yang berjudul “Aku Ingin” itu merupakan ciptaan seorang pujangga terkemuka, Sapardi Djoko Damono atau yang akrab disapa dengan panggilan ‘Eyang Sapardi’.
Pada Minggu pagi tepatnya 20 Juli 2020, seluruh penikmat sastra di Indonesia berduka, lantaran sang maestro ini telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Menurut buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006) yang ditulis Bakdi Soemanto, Sapardi lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940. Ia adalah anak sulung dari pasangan Sadyoko serta Sapariah, abdi dalam di Keraton Kasunanan.
Bersumber pada kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Oleh karena itu, orang tuanya memberikan nama Sapardi. Menurut keyakinan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar akan menjadi sosok yang pemberani serta teguh dalam kepercayaan.
Pendidikan
Sapardi menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) Kasatriyan yang berada di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di SMP II yang berlokasi di Mangkunegaran.
Kemudian Sapardi masuk ke SMA II Solo, setekah lulus, ia pun masuk ke Universitas Gajah Mada (UGM) mengambil jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Ia juga sempat menempuh pendidikan non gelar di University of Hawaii, yaitu pada tahun 1970-1971.
Pada tahun 1989, ia menyelesaikan program doktornya dengan predikat sangat memuaskan di UI dengan disertasi mengenai novel-novel di Jawa tahun 1950-an.
Di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), ia menjabat Pembantu Dekan III dari tahun 1979-1982. Lalu diangkat sebagai Pembantu Dekan I pada 1982-1996. Dan akhirnya menjabat Dekan pada 1996-1999 di fakultas dan universitas yang sama.
Kemudian ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia pada tahun 1995.
Karya dan Peran dalam Sastra
Sapardi memiliki berbagai kemampuan berkesenian; seperti melukis, menari, menabuh gamelan, main gitar, menggambar, main drama dan menjadi sastrawan. Dan menurutnya bidang sastralah bakatnya yang paling menonjol.
Sapardi mulai menulis puisi sejak kelas 2 SMA, yakni pada November 1957. Satu bulan setelah belajar menulis, karyanya yang berupa sajak dimuat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang, yaitu tabloid Pos Minggu.
Tahun-tahun setelahnya, sajak-sajaknya mulai terbit di ruang-ruang kebudayaan diberbagai penerbitan. Salah satunya penerbitan yang diasuh oleh H.B Jassin.
Dalam salah satu tulisannya, Sapardi mengungkapkan bahwa ia memandang sesuatu seperti cara pandang anak kecil. Benda-benda biasa sehari-hari tampak menjadi aneh dan berbeda dalam pandangannya.
Dari benda-benda sekitar itulah, dia terinspirasi untuk menulis puisi. Mulai dari hujan, kerikil, kucing, angin, balon, langit, bumi hingga orang. Benda-benda itu diolah dalam kalimat sederhana namun dibalut makna yang kuat sehingga menciptakan puisi yang menggugah. Karya-karya buah pikir dari Sapardi terkenal romantis, sarat makna, dan membius.
Puisinya juga disebut beberapa pihak memiliki kesamaan dengan persajakan Barat pada abad ke-19. Sebagian puisinya bahkan dibuat musikalisasi. Beberapa novel dan film juga lahir sebagai produk dari imajinasinya.
Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an.
Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan Arloji (1998). Serta Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).
Sebagai seorang pakar sastra, Sapardi menulis beberapa buku yang sangat penting. Sapardi juga menerjemahkan banyak karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya yaitu Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway).
Sapardi aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra pada 1970-1980-an. Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.
Sapardi mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.
Sapardi juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV).
Tak hanya itu, Sapardi Djoko Damono juga aktif di dunia sastra internasional dan sering menghadiri berbagai pertemuan, seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971) dan Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra.
Penghargaan
Atas peran dan karyanya dalam dunia sastra, Sapardi Djoko Damono pernah memperoleh sederet penghargaan dan hadiah sastra. Di antaranya adalah Hadiah Majalah Basis atas puisinya “Balada Matinya Seorang Pemberontak” (1963), Penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia (1978), mendapat Hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia (1983), mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas (1984), Mataram Award (1985), menerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand (1986), mendapat Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature (2003), Khatulistiwa Award (2004), dan mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta (2012).
Pada 20 Maret tepat bertambahnya usia beliau ke-80 tahun, saat ditanya oleh Klub Buku Narasi besutan Najwa Shihab, almarhum sempat menyampaikan ucapan hangat kepada penikmat karyanya.
“Saya ingin karya saya dibaca sampai akhir zaman, meskipun saya sudah meninggal. Saya menulis karena ingin menulis.
Kebanyakan orang dikenang karena sosoknya bukan karyanya. Saya tidak mau seperti itu. Jangan kenang orang, tapi karyanya. Jangan mengenang saya, tapi baca karya-karya saya,” kata almarhum seperti yang tertulis di akun @klubbukunarasi.
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
– Sapardi Djoko Damono, 1991
Redaktur Tulisan: Kurniadi Syahputra
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.