Penulis: Muhammad Fadhlan Amri
Suara USU, Medan. “Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya”.
Jika kita berbicara tentang seorang Andrea Hirata, pasti kita tertuju pada karyanya yang paling terkenal, yaitu Laskar Pelangi. Namun, ternyata ada salah satu novel karya Andrea Hirata yang bisa dibilang cukup “underrated”, yang padahal memiliki nilai-nilai lebih yang sama dengan karya Andrea yang lain.
Karya tersebut adalah Sebelas Patriot. Novel ini merupakan karya Andrea Hirata, yang rilis pada tahun 2011. Mengangkat sepak bola dan patriotisme, novel ini wajib untuk para penggemar dan pecinta novel tanah air.
Sederhana namun mendalam. Kalimat ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan novel ini. Yang menceritakan tentang bagaimana Ikal, seorang anak laki-laki asal Belitong, yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola.
Awalnya Ikal bercita-cita menjadi pemain sepak bola, ya hanya karena sebatas menyukai permainan ini. Namun, itu semua berubah ketika Ikal melihat dan mengetahui cerita panjang dari sebuah foto lama yang ia temukan di sebuah album tua.
Foto tua yang menuntunnya ke sebuah jejak historis, dan menjadi motivasi besar bagi hidupnya. Di mana ia berhasil menguak sebuah misteri bahwa ternyata foto tua yang ia temukan adalah foto ayahnya kala belia dulu. Ayah Ikal pada masa belianya, sempat menjadi pemain handal di zaman penjajahan Belanda dulu. Kala itu, sepak bola bukan hanya sebuah permainan, tetapi juga nafas perjuangan. Menjadi motor pergerakan, dan semangat kemerdekaan lahir di lapangan hijau, bagi bangsa malayu.
Ayah Ikal dan dua saudaranya, adalah para pemain yang sangat hebat. Walaupun di luar lapangan mereka hanya sebatas buruh rendahan, kepiawaian mereka di lapangan hijau tak terbendung tim manapun kala itu, termasuk tim Belanda. Tim Belanda tidak boleh dikalahkan tim pribumi, itu sebabnya kala tim ayahnya Ikal menang, besoknya ayah Ikal dibawa ke tangsi dan tempurung kaki ayahnya yang pecah menjadi korban kekejaman Belanda.
Hal itu yang membuat ayahnya cacat permanen, pincang seumur hidup dan mengubur dalam-dalam mimpi menjadi bagian dari Tim Nasional. Setelah mengetahui kisah ayahnya, Ikal langsung bersemangat dan memiliki motivasi tinggi dalam sepak bola. Menurutnya, ia harus mampu meneruskan mimpi ayahnya yang hancur akibat kekejian pasukan Belanda dulu.
Ikal pun berlatih dengan giat, ia pun memilih posisi winger atau sayap kiri posisi ayahnya dulu ketika merumput. Sayang, mimpinya harus kandas di level provinsi. Ia pun terus mencoba di tahun-tahun berikutnya, namun si kulit bundar nampaknya tidak terlalu memihak pada anak laki-laki ini. Prestasinya di dunia sepak bola semakin jatuh setiap tahunnya. Dan prestasi yang paling tinggi hanya di level provinsi.
Kisah terus berlanjut, cerita selanjutnya memuat perjuangan Ikal di daratan Eropa bukan sebagai pemain, tetapi perjuangannya membelikan ayahnya sebuah jersey Real Madrid, dengan nama Figo di punggung. Ya, Real Madrid dan Luis Figo adalah klub dan pemain idola ayahnya Ikal.
Ikal datang ke Madrid dengan perjuangan. Sebelumnya pemuda asal Belitong ini, melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Ia datang ke Madrid bermodalkan tabungan yang tak begitu banyak sebenarnya, namun ia sangat nekat.
Di benaknya hanya terfikirkan bagaimana bahagianya sang ayah ketika dia pulang dan membawa jersey Real Madrid dengan nama Figo di belakangnya.
Begitu sampai di Santiago Bernabeu, langkah Ikal langsung tertuju ke gerai resmi Real Madrid untuk membeli jersey. Dan jersey dengan nama Figo di punggung hanya tersisa satu buah. Dan harganya sangat mahal. Tak cukup dengan sisa tabungannya.
Ikal pun memutar otak, ia kerja serabutan paruh waktu demi kebahagiaan sang ayah. Tak peduli harus tidur di jalan, tak peduli harus menjadi pembantu di markas Barcelona, semua ia lakukan demi jersey bernama punggung Figo untuk sang ayah.
Kerja kerasnya pun berhasil, ia akhirnya dapat memboyong jersey itu usai kerja serabutan dan tidur di pinggir jalan beberapa hari. Ia bahkan berkesempatan menonton langsung laga Real Madrid melawan Valencia, langsung di stadion Santiago Bernabeu.
Novel ini memiliki banyak sekali kelebihan. Penggunaan kata dan kalimat yang mudah dipahami orang awam. Di tambah lagi banyak sekali quotes ataupun kata mulia yang membuat pembaca terkesima dan merasa bergairah setelah membaca buku ini. Sampulnya juga memiliki nilai lebih tersendiri, unik dan ciamik. Di tambah, novel ini mengangkat sepak bola sebagai tema besarnya, sehingga terasa begitu spesial dan berbeda dari novel-novel lainnya.
“Sepak bola adalah satu-satunya cinta yang tak bersyarat di dunia ini”.
Kekurangan dari buku ini adalah terlalu tipis. Hanya bertebalkan 112 halaman, membuat pembaca tak sadar bahwa ia sudah memasuki akhir novel. Alurnya pun agak membingungkan, seperti tiba-tiba sudah di titik ini, kemudian lompat lagi. Sehingga membuat penonton bingung.
Redaktur Tulisan : Orsella Nuraina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.