Oleh: Vimelia Hutapea
Suara USU, Medan. Namaku Alam merupakan novel karya Leila S. Chudori yang terbit pada tahun 2023, mengangkat kisah sebuah keluarga yang menjadi tahanan politik pada masa Orde Baru. Novel setebal 438 halaman ini mengangkat kisah eksil yang nyata dan kelam sejak munculnya Orde Baru sampai menuju akhir hayatnya. Nama Sagara Alam menjadi sorotan karena menjadi tokoh utama yang kuat dan membawa cerita pada kilasan memori yang dimiliki.
Menjadi tokoh sentral yang kuat dan cerdas, Sagara Alam membawa pembaca masuk ke dunia photographic memory yang menjadi anugerahnya untuk mengingat sesuatu dengan detail dan terperinci. Kondisi psikologis Sagara Alam serta trauma karena menjadi anak seorang tahanan negara yang dianggap meresahkan, menorehkan luka karena menerima bullying dari teman sekolah dan bahkan sepupunya sendiri. Leila S. Chudori menggambarkan bagaimana kisah ini bermula dengan lihai, dengan penggambaran yang serius serta mendalam.
Novel ini merupakan spin-off dari novel Pulang terdahulu. Secara keseluruhan, novel Namaku Alam memang tidak semenegangkan Pulang dan Laut Bercerita. Jika dua novel itu berfokus pada aktivisme dan peristiwa bersejarah yang langsung menimpa para tokoh utama, Namaku Alam lebih banyak mengisahkan kehidupan Segara Alam dan para kerabat tapol atau eks-tapol dengan memori yang mereka punya sebagai pencatat sejarah.
Sejak kecil, Alam berteman dengan Bimo dan dekat juga dengan ‘Om Aji.’ Sosok ayah yang tidak dimiliki oleh mereka. Alam tidak pernah bertemu dengan bapaknya hingga akhir hidupnya dan bapaknya Bimo dieksil ke luar negeri karena dituduh memiliki keterlibatan dengan gerakan komunis. Kesamaan dari nasib keluarga mempererat hubungan mereka. Bapak Alam sendiri merupakan wartawan yang dituding dekat dengan Lekra, lantas diburu pemerintah pasca peristiwa G30S, dan akhirnya ditembak mati pada tahun 1970.
Sejarah menjadi minat Alam karena alasan personalnya yang menjadi bagian dari naskah sejarah yang berusaha dimusnahkan oleh pemerintah. Hal tersebut membuat Alam dan sahabat masa kecilnya–Bimo untuk bergabung dengan ekstrakulikuler ‘Para Pencatat Sejarah’ di SMA mereka. Ekstrakulikuler ini mempunyai visi untuk belajar dan mencatat seluruh sejarah, termasuk yang tidak diakui oleh pemerintah pada masa itu.
Adapun kelebihan karya ini terletak pada kemampuan penulis dalam menarik perhatian pembaca terhadap kebrutalan zaman, dengan menyajikannya melalui pengenalan kemampuan photographic memory yang dimiliki oleh karakter utama sehingga penyajiannya menjadi lebih unik. Penulis juga berhasil mengenalkan pembaca pada konsep-konsep sejarah baru dan khususnya terkait masa Orde Baru, mendorong mereka untuk mengenalnya lebih dalam. Novel ini berhasil menyampaikan permasalahan dan kondisi yang dialami tokoh utama, Segara Alam, akibat kepergian bapaknya. Sehingga pembaca dapat memposisikan diri mereka saat membacanya.
Di sisi lain, novel ini juga mempunyai beberapa kekurangan. Penyajian narasinya tidak seimbang dan hanya berfokus pada satu tokoh antagonis. Selain itu, peristiwa-peristiwa penting seperti pelarangan buku dan perburuan buku hanya disebutkan secara singkat dan tidak dijelaskan secara rinci. Meski penulis berhasil mengangkat pertanyaan-pertanyaan penting seputar peristiwa G30S dan dampaknya terhadap masyarakat, namun masih ada beberapa aspek yang belum tergali secara mendalam oleh penulis, dan alur cerita yang berbeda jika dibandingkan dengan kedua karya sebelumnya.
Redaktur: Yuni Hikmah
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.