Oleh: Arnoldus Prima Naibaho
Ilustrasi: Muhammad Fadhlan Amri
Suara USU, MEDAN. Dalam kehidupan bernegara tentunya tidak akan pernah terlepas dari yang namanya polemik atau pertentangan,baik itu antara warga negara dengan warga negara ataupun warga negara dengan negara dalam artian pemerintah.
Banyak macam polemik yang ada di bumi pertiwi ini tapi yang cukup mendapat sorotan tajam ialah mengenai hak berdemokrasi. Sebelumya perlu dipahami apa sih negara demokrasi itu? Demokrasi juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana seluruh masyarakat negara memiliki hak serta kesempatan yang sama atau setara dalam berkontribusi untuk pengambilan keputusan yang berpengaruh pada nasib hidup orang banyak.
Bisa dikatakan jika rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam proses pengambilan keputusan hingga akhirnya memberikan dampak pada keseluruhan kehidupan. Maka tidak heran jika sistem demokratis memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam hal penyusunan, perumusan, pengembangan serta penetapan undang – undang baik secara langsung maupun melalui perwakilan rakyat.
Oleh karena itu negara demokrasi memberikan hak kepada warga negaranya untuk menyatakan pendapat. Hal ini juga diatur dalam Pasal 28 E UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Berkaitan dengan hak berdemokrasi terdapat berberapa kasus yang berkaitan dengan itu. Ada yang betul-betul dilanggar hak demokrasinya dan ada juga yang memakai kata “demokrasi” untuk berbuat semenang-menangnya.
Disini kita harus bisa membedakan yang mana namanya perampasan hak dan kesewang-wenangan menggunakan hak terkait dengan hak berdemokrasi atau menyatakan pendapat. Dalam hal ini penulis berpendapat dengan memberikan contoh yang mana bisa dikatakan perampasan hak ataupun kesewenang-wenangan menggunakan hak terkait hak berdemokrasi.
Contoh untuk sebuah perisitwa dapat dikatakan perampasan hak dalam berdemokrasi adalah peristiwa penangkapan 10 mahasiswa UNS dan kesewanangan-wenangan atas hak berdemokrasi misalnya dalam bentuk konkretnya ialah dalam peristiwa BEM Universitas Indonesia yang mengatakan Jokowi “The King of Lip Service”
Membahas contoh pertama yaitu peristiwa penangkapan 10 mahasiswa UNS ketika ingin menyampaikan aspirasi masih di luar logika penulis. Dan tepat dikatakan ini merupakan perampasan hak berpendapat oleh negara. Tidak ada unsur-unsur yang berkaitan dengan kerumunan,perbuatan sarkas atau hal-hal yang berhubungan dengan pengerusakan dan sebagainya. Kata-kata yang dipakai juga terkesan sopan dan masih dalam batas wajar. Lantas apa yang salah dari mereka?
Mereka hanya ingin mencurahkan seluruh isi kepalanya yang selama ini terpendam berhubung kelompok mahasiswa itu akan berpapasan langsung dengan pak presiden. Dan tentunya kesempatan untuk didengarkan terbuka lebih lebar dibandingkan dengan berkoar-koar di sosial media. Namun itu hanya harapan belaka yang hanya bisa dibayangkan tetapi tidak bisa terealisasikan.
Walaupun para mahasiswa sudah dipulangkan tetap saja peristiwa penangkapan ini sangat tidak mencerminkan negara demokrasi dimana setiap warga negara diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Sudah seharus pemerintah dalam hal ini presiden selaku kepala negara untuk mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada mereka yang ingin meluapkan aspirasi mereka sepanjang tindakan mereka tidak menggangu kepentingan umum.
Kemudian mengenai kasus yang cukup menggemparkan dunia media sosial dan sempat menjadi trending yaitu kasus BEM Universitas Indonesia yang mengatakan Jokowi ‘The King of Lip Service”. Yang menurut penulis ialah kesewang-wenangan menggunakan hak berdemokrasi Apa yang dibuat BEM UI memang merupakan bentuk daripada ungkapan ataupun krtikan mereka kepada pemerintah. Niat mereka juga baik supaya pemerintah bisa intropeksi diri atas segala kebijakan yang diberlakukannya.
Dapat disimpulkan bahwa kebebasan demokrasi adalah hak utama di dalam negara demokrasi dan harus diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia. Namun dalam berdemokrasi juga ada tata caranya agar para pendemo tidak sesuka hati menggunakan haknya.
Menurut penulis, kita boleh mengungkapkan pendapat namun ada tata caranya. Yang pertama, kita harus bisa membedakan mana kalimat yang sifatnya membangun dan mana yang sifatnya menghujat. Yang kedua, harus pada waktu dan tempat yang tepat.
Dan yang ketiga ialah usahakan mengkritik disertai dengan solusi agar dengan kita memberikan solusi kita dipandang sebagai orang yang tahu akar masalahnya sehingga pemerintah juga mendapat referensi-referensi baru. Sesuai dengan pengertian negara demokrasi tadi yaitu rakyat diminta ikut terlibat dalam membangun negara bersama pemerintah. Apabila cuma mengkritik tanpa solusi bisa disebut warga negara yang membangun negara?
Demikian dari artikel opini saya buat ,semoga dengan artikel ini bisa bermanfaat serta menambah referensi atau konsep berpikir baru mengenai hak berdemokrasi. Panjang hidup demokrasi Indonesia!
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.