Sumber Foto: pajak.com
Oleh: Natasya Ramadani
Suara USU, Medan. Era digitalisasi telah menjalar hampir ke semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem perpajakan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara termasuk Indonesia telah memperkenalkan sistem perpajakan digital dengan tujuan meningkatkan efisiensi, mengurangi terjadinya korupsi, dan meningkatkan rasio pajak.
Namun, di tengah optimisme tersebut, berbagai isu dan tantangan muncul terkait potensi pelanggaran privasi wajib pajak, yang perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah dan masyarakat. Apakah digitalisasi perpajakan akan menjadi kunci efisiensi atau malah menjadi ancaman privasi?
Proses digitalisasi perpajakan telah berjalan sejak 2007, ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merilis e-Filling, aplikasi berbasis web milik pemerintah. Di tahun 2015, Direktorat Jendral Pajak (DJP) telah melakukan transformasi digital untuk meningkatkan kualitas layanan dan efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Salah satu kebijakan yang telah dijalankan DJP dalam rangka reformasi digitalisasi perpajakan yaitu kebijakan PMK-09/PMK.03/2018. Kebijakan ini menerangkan perubahan atas PMK-243/PMK.03/2014 tentang surat pemberitahuan (SPT).
Pada pembaruan kebijakan tersebut, DJP menyediakan penyederhanaan kewajiban pelaporan SPT secara digital. DJP telah menyediakan berbagai fitur perpajakan online yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, seperti e-Registration, e-Filing, e-Billing, e-Faktur, dan layanan kring pajak.
Singapura adalah negara dengan sistem perpajakan yang sangat maju. Perpajakan Singapura memiliki Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) yaitu otoritas pajak Singapura yang bertanggung jawab atas administrasi dan pengumpulan pajak negara. Hampir semua sistem layanan perpajakan dilakukan secara digital dan memiliki fokus pada integrasi sistem untuk kemudahan pengguna sehingga dapat melakukan berbagai transaksi online perpajakan, seperti pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pengajuan pembalian pajak.
Disusul oleh Malaysia yang juga memiliki sistem perpajakan cukup maju. Pemerintah Malaysia memiliki banyak layanan perpajakan yang terintegrasi secara penuh dengan sistem digital. Tingkat kepatuhan wajib pajak Malaysia dalam memanfaatkan layanan digital perpajakan cenderung lebih tinggi. Hal ini didukung oleh sosialisasi yang intensif dan kemudahan akses perpajakan.
Sedangkan Indonesia masih terus berkembang dalam mengejar ketertinggalan digitalisasi perpajakan dan terus berupaya untuk meningkatkan meningkatkan efisiensi dan kepatuhan wajib pajak.
Digitalisasi perpajakan menawarkan sejumlah manfaat. Pertama, proses pelaporan pajak menjadi lebih mudah dan cepat. Wajib pajak tidak perlu lagi antri di kantor pajak atau mengisi formulir secara manual. Pengisian SPT, pembayaran pajak, dan pengecekan status pajak dapat dilakukan secara online kapan saja dan di mana saja. Hal ini dapat menghemat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan wajib pajak.
Dikutip dari laman pajak.go.id sampai dengan batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan, empat bulan setelah akhir tahun pajak, Wajib Pajak Badan yang telah menunaikan kewajiban lapor SPT-nya adalah sebanyak 1,4 juta Wajib Pajak Badan. Sementara itu, jumlah SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak telah mencapai14,19 juta SPT. Sebagian besar pelaporan melalui sarana elektronik yaitu e-filing, e-form, dan e-SPT.
Kedua, digitalisasi perpajakan membantu proses pengumpulan pajak yang transparansi sehingga mencegah terjadinya korupsi di sektor perpajakan. Dengan melakukan pembayaran pajak melalui e-billing. E-billing adalah sistem pembayaran pajak yang dilakukan secara non-cash payment yaitu tindakan yang tidak melibatkan pembayaran secara tunai dan dapat dilakukan melalui lembaga perbankan.
Ketiga, mengurangi terjadinya kesalahan manusia. Banyak proses perpajakan yang dulunya dilakukan secara manual kini telah otomatis. Misalnya, perhitungan pajak, pengisian formulir, dan verifikasi data. Otomatisasi ini mengurangi risiko kesalahan hitung atau kesalahan pengisian data yang sering terjadi pada proses manual.
Contoh saat penggunaan e-filing pada saat mengisi SPT secara online, sistem akan secara otomatis menghitung pajak terutang berdasarkan data yang dimasukkan. Hal ini mengurangi risiko kesalahan hitung yang sering terjadi saat perhitungan dilakukan secara manual. Penerbitan e-faktur pajak elektronik mengurangi risiko kesalahan penulisan nomor faktur, tanggal, atau jumlah pajak yang harus dibayarkan.
Keempat, digitalisasi dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dengan sistem yang terintegrasi dan transparan, pemerintah dapat memantau transaksi keuangan secara real-time, mengurangi peluang penghindaran pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, penggunaan teknologi blockchain dalam perpajakan dapat menyediakan catatan transaksi yang tidak dapat diubah, sehingga meminimalisir risiko kecurangan.
Di sisi lain, digitalisasi perpajakan juga membawa sejumlah risiko, terutama terkait dengan privasi data wajib pajak. Data pribadi yang sensitif seperti data Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajin Pajak (NPWP), penghasilan, harta, dan aset wajib pajak tersimpan dalam sistem digital. Data wajib pajak dapat bocor akibat kesalahan konfigurasi sistem, serangan siber, atau tindakan internal yang tidak bertanggung jawab.
Jika sistem keamanan tidak dikelola dengan baik, data tersebut berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan pribadi atau komersial. Selain itu, Data wajib pajak dapat dimanipulasi atau diubah oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga dapat menimbulkan kerugian finansial bagi wajib pajak atau negara.
Isu privasi dan keamanan data menjadi salah satu tantangan terbesar dalam digitalisasi perpajakan, yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap keamanan data yang dikelola oleh pemerintah dapat menghambat keberhasilan program digitalisasi perpajakan.
Tahun 2022 muncul isu dalam akun Twitter milik @darktracer_int mengunggah daftar kebocoran data yang isinya bahwa “1.753.669 kredensial dari 49 ribu lebih situs pemerintah telah bocor dari pengguna yang terinfeksi malware stealer. Pengguna dapat mencakup pengguna pemerintah atau pengguna publik dari layanan publik pemerintah.”
Terkait dengan isu tersebut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan data DJP termasuk data wajib pajak yang disimpan oleh DJP dalam kondisi aman dan dapat diakses. Kebocoran data diduga berasal dari perangkat pengguna yang terinfeksi malware.
Dikutip dari laman pajak.go.id, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Neilmaldrin Noor mengatakan “Berdasarkan investigasi kami, situs web milik DJP dipastikan aman dan dapat diakses sebagaimana biasanya. Kebocoran data justru diduga berasal dari perangkat user yang terinfeksi malware kemudian digunakan untuk masuk ke dalam situs pemerintahan.”
Juni 2024 Pusat Data Nasional (PDN) Kementerian Komunikasi Informatika (Kominfo) diserang siber ransomware. Akibat serangan ini DJP tidak bisa memgakses data paspor dan indentitas warga negara asing (WNA) yang mengakibatkan terganggunya layanan registrasi NPWP secara online bagi wajib pajak penanaman modal asing (PMA) dan WNA. Sedangkan untuk layanan perpajakan bagi wajib pajak warga negara Indonesia tidak terdapat gangguan.
Keamanan data dan privasi adalah tanggung jawab bersama. Baik DJP maupun wajib pajak harus terus berupaya untuk meningkatkan keamanan sistem dan melindungi data pribadi. DJP telah melakukan beberapa langkah untuk melindungi data wajib pajak. Pertama, pembatasan akses yaitu akses data ke wajib pajak dapat dibatasi hanya untuk petugas yang berwenang dan tidak dibuka sembarangan kepada publik.
Kedua, pengembangan sistem autentikasi yang kuat. DJP menggunakan sistem autentikasi yang kuat, seperti penggunaan token, OTP (One Time Password), dan biometrik, untuk memastikan hanya pengguna yang berwenang yang dapat mengakses sistem. Ketiga, kerjasama dengan lembaga terkait. DJP menjalin kerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan lembaga keamanan siber lainnya untuk mendapatkan dukungan dalam menjaga keamanan sistem.
Keempat, melakukan sosialisasi kepada wajib Pajak. DJP secara aktif melakukan sosialisasi kepada wajib pajak mengenai pentingnya menjaga keamanan data pribadi dan cara-cara untuk mengenali phishing.
Sebagai wajib pajak, kita juga harus berkontribusi dalam menjaga keamanan data yaitu dengan cara menggunakan kata sandi yang kuat dan unik, hati-hati dengan tautan yang mengarahkan ke situs palsu atau email pesan yang mengatasnamakan DJP yang meminta informasi pribadi, memperbarui perangkat lunak, dan melaporkan jika ada kegiatan yang mencurigakan seperti adanya upaya penipuan.
Dengan upaya bersama antara DJP dan wajib pajak, diharapkan keamanan data perpajakan dapat terus terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan dapat semakin meningkat. Mari bersama-sama menjaga privasi dan keamanan data diri dalam proses digitalisasi perpajakan agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara.
Artikel ini merupakan publikasi untuk perlombaan artikel perpajakan yang diselenggarakan oleh DJP Sumut.
Redaktur: Balqis Aurora
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.