SUARA USU
Opini

Fenomena Braindrain, Ketika Suatu Daerah Kehilangan Insan Intelektual

The graduate brains leave the city with their luggage. (Used clipping mask)

Sumber: Disway Malang

Oleh: Reinhard Halomoan

Suara USU, Medan. Braindrain merupakan fenomena ketika orang dengan daya intelegensi yang tinggi merasa bahwa terdapat kehidupan yang lebih layak dan memadai diluar daerah mereka, sehingga memancing mereka untuk pindah. Hal ini menyebabkan daerah-daerah yang ditinggalkannya tersebut kekurangan sumber daya manusia berkualitas untuk melaksanakan pembangunan. Tentu saja, tempat yang mereka datangi bak mendapatkan angin segar dengan datangnya orang-orang intelek ke daerahnya.

Mari kita belajar dari suatu contoh yang mungkin ceritanya sudah banyak didengar oleh khalayak. Baharuddin Jusuf Habibie (B.J Habibie) merupakan salah satu teknokrat sekaligus politisi yang kepiawaiannya dalam merancang struktur pesawat sudah tidak diragukan lagi. Bukan hanya Indonesia yang mengakui, negara tempat Habibie menimba ilmu yaitu Jerman juga mengakui kejeniusan mantan presiden Republik Indonesia ke-3 tersebut. Yang menarik adalah kepulangan Habibie ke Indonesia pada saat itu adalah hasil dari bujukan Ibnu Sutowo, duta besar RI untuk Jerman Barat pada masa itu. Mungkin, jika beliau tidak membujuk Habibie untuk kembali pada saat itu, pesawat terbang N250 Gatotkaca buatan anak bangsa tidak akan pernah ada dan Indonesia akan kehilangan satu sosok penting dalam bidang teknologi.Peristiwa tersebut cukup jelas menggambarkan kepada kita apa itu braindrain.

Di Sumatera Utara, sebenarnya hal ini sudah disadari sejak lama. Sayangnya, memang belum ada satupun kebijakan yang mampu membendung keinginan insan muda Sumatera Utara untuk merantau dan pada akhirnya tidak kembali lagi ke kampung halamannya. Gubernur Sumatera Utara periode 1990-1998, Alm. Raja Inal Siregar pernah membuat slogan yang dikenal dengan Marsipature Hutanabe. Slogan yang dibuat dalam bahasa Batak ini memiliki arti saling membangun kampung halaman masing-masing. Slogan ini cukup dapat meluluhkan hati para intelek muda Sumatera Utara pada saat itu, sehingga beberapa dari mereka ada yang kembali untuk membangun kampung halamannya. Namun, setelah beliau tidak lagi menjabat menjadi gubernur, perlahan slogan tersebut mulai ditinggalkan dan para intelek muda Sumatera Utara kembali pada pendiriannya untuk dapat mengadu nasib di tanah rantau.

Kita dapat membayangkan betapa efektifnya jika di suatu lingkungan, para kaum intelek di lingkungan tersebut menjadi agen utama sekaligus pemimpin jalannya pembangunan dan perwujudan perubahan. Sayangnya, keinginan untuk mendapatkan kehidupan pribadi yang lebih baik menjadi prioritas yang lebih tinggi bagi setiap manusia. Hal inilah yang menjadi indikasi kuat belum meratanya kesempatan hidup layak di daerah-daerah tertentu. Wajar jika mereka berinisiatif untuk mencari penghidupan yang lebih baik sekaligus tempat dimana mereka lebih dihargai. Hal tersebut perlu dikaji lebih dalam oleh pemerintah. Jangan sampai intelek muda di di Indonesia merasa hilang ikatan dengan kampung halamannya masing-masing dan malah membangun daerah lain.

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mencegah braindrain ini adalah iklim perpolitikan yang runyam dan besar pengaruhnya terhadap kekondusifan berdemokrasi. Mulai dari peraturan yang seenaknya dirubah oleh orang yang berkuasa, hingga kebiasaan korupsi dan tingginya nepotisme membuat kaum intelek muda merasa bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat untuk memaksimalkan potensi diri. Mereka cenderung akan mencari negara yang lebih kondusif, damai, dan minim KKN untuk dapat memaksimalkan potensi yang mereka miliki.

Jika berbicara dalam lingkup Sumatera Utara sendiri, rasanya tidak perlu diherankan lagi mengapa banyak intelktual muda yang pergi dari daerah asalnya. Sepanjang tahun 2022 saja, terdapat 370 aduan korupsi ke KPK dari provinsi Sumatera Utara. Angka tersebut adalah yang tertinggi ketiga di Indonesia setelah provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Belum lagi kebiasaan pungli, dominasi ormas tidak bertanggung jawab, serta fasilitas yang serba tidak merata di seluruh kota dan kabupaten di Sumatera Utara acapkali membuat kaum intelektual muda tidak tertarik untuk berbakti di daerah asalnya. Sumatera Utara sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, tetapi sayangnya habits buruk masyarakatnya membuat kaum muda di Sumatera Utara memilih untuk berimigrasi ke daerah lain.

Pada akhirnya, braindrain tetap menjadi suatu permasalahan yang tidak dapat dikontrol langsung oleh kebijakan pemerintah. Namun, pemerintah dapat berefleksi dan membenahi unsur-unsur dalam masyarakat yang menjadi penyebab terjadinya braindrain. Apapun itu, tidak ada alasan untuk terus membiarkan secara sengaja insan muda berkualitas di negara ini untuk pergi dan malah membangun tanah orang lain. Sinergi antar pihak demi mewujudkan pemerataan, kekondusifan politik, dan praktik korupsi harus tetap digalakkan untuk meminimalisir braindrain yang terus terjadi.

Redaktur: Evita Sipahutar


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Catcalling, Beda Tipis antara Candaan dan Pelecehan

redaksi

(Masih) Menyoal tentang Miras, Melihat dari Sisi yang Berbeda

redaksi

BBM Terus-Terusan Naik? Saatnya Bertransformasi Ke Sumber Energi Terbarukan

redaksi