Reporter : Jesika Yusnita Laoly/ Fajri Saputra/Luthfiah Amanda P
Suara USU, Medan. Jumat (7/24), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Sumatera Utara (USU) mengadakan kegiatan panggung seni jalanan dengan tema “Realita Perguruan Tinggi di Negeri Oligarki”. Acara yang diorganisir oleh HMI dari berbagai fakultas yakni, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), serta Fakultas Hukum (FH).
Panggung Seni Jalanan ini juga turut menampilkan berbagai kegiatan seperti lapak baca, panggung orasi, musikaliasi puisi, forum diskusi kelompok, dan penampilan musik.Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mengawal peraturan, regulasi, dan kebijakan dari pemerintah serta petinggi kampus. Acara ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi dan kekompakan kader HMI. Acara ini juga mencerminkan kekecewaan HMI terhadap banyaknya kebijakan pemerintah yang dianggap mengurangi tingkat intelektualitas mahasiswa.
Dalam wawancara, Muhammad Habib, Wakil Sekretaris Umum Bidang PTKP HMI FISIP USU, menjelaskan bahwa aksi ini merupakan kelanjutan dari demo isu Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Ini adalah bentuk pengawalan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) USU terkait demo isu UKT kemarin,” katanya. Menurut Alfhandi Hagana, Kepala Bidang PTKP HMI FIB, kegiatan ini juga tidak hanya membahas UKT, tetapi juga berbagai problematika di kampus. “Ini bukan hanya tentang UKT, kita ketahui ada banyak problematika di kampus ini. Jadi, kami ingin isu ini tetap hangat dengan cara membuat panggung seni ini.”
Dan ketika Muhammad Habib ditanyai tentang pernyataannya bahwa mahasiswa adalah “alat oligarki” dan “korban,” Habib menjelaskan bahwa hal ini didasarkan pada kondisi sebelum dan sesudah pemilu, di mana anak presiden terlibat dalam politik dengan menabrak regulasi. “Masalah ini sudah ada sejak sebelum pemilu dan semakin terlihat sejak pemilu dilaksanakan. Anak presiden menabrak regulasi, dan MK seolah-olah dipaksa agar usia calon wakil presiden harus cukup. Gerakan-gerakan mahasiswa juga banyak mendapat stigma, bahkan ketika kegiatan ini sedang di persiapkan, aparat keamanan bertanya-tanya, padahal ini ruang terbuka kampus. Negara seharusnya melindungi dan mengikuti UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan seharusnya gratis, murah, dan mudah. Makanya saya bisa mengatakan kita tidak dilindungi,” jelasnya.
Sementara itu, Daffa Pohan, Kepala Bidang PTKP HMI FH, menyatakan bahwa pemerintah secara halus meredupkan pergerakan mahasiswa dengan kegiatan yang mengurangi semangat kritis mereka. “Ya, jadi seperti yang saya sampaikan juga tadi. Kita berkaca dari organisasi kehidupan kampus sekitar tahun 1979, di mana saat ini secara halus pemerintah mematikan, maksudnya meredupkan, pergerakan mahasiswa dengan berbagai kegiatan lainnya. Sehingga, semangat mahasiswa untuk mengkritisi pemerintah meredup. Karena sejatinya, mahasiswa adalah agen perubahan yang mempunyai peran sebagai kontrol sosial,” ujarnya.
Disisi lain, Irham Sitepu, Sekretaris Umum Bidang PTKP HMI FKG USU, menyatakan bahwa kegiatan ini dilakukan untuk memantik jiwa kritis mahasiswa. “Langkah yang kami lakukan adalah menumbuhkan sikap kritis dari jiwa mahasiswa agar mereka mau bergerak dan mengkritisi hal-hal yang tidak berkenan di hati mahasiswa,” jelasnya.
Terakhir, Muhammad Habib juga mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah yang pertama kalinya diadakan oleh HMI dan akan terus dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan isu-isu nasional dan pendidikan. “Insya Allah, gerakan seperti ini akan kami lakukan secara berkelanjutan, sesuai dengan isu-isu nasional dan juga isu-isu pendidikan”.
Panggung seni jalanan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam membangkitkan semangat kritis mahasiswa USU dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan di tengah berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia.
Redaktur : Evita Sipahutar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.