Oleh: Tania A. Putri
Suara USU, MEDAN. Beberapa waktu lalu, ujian semester telah rampung diselesaikan. Saat ini para mahasiswa sedang menanti hasil penilaian terhadap kompetensi teknis sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.
Sebelumnya, teman-teman mahasiswa harus mengetahui lebih dulu bahwa penilaian kompetensi terdiri dari IP dan IPK. Keduanya adalah dua hal yang berbeda, namun masih saling berkaitan. IP atau Indeks Prestasi adalah penilaian untuk setiap mata kuliah yang diperoleh pada akhir semester, sedangkan IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif adalah akumulasi keseluruhan penilaian dari awal hingga akhir masa perkuliahan.
Tentu banyak dari teman-teman mahasiswa yang ingin memperoleh IP tinggi di setiap semesternya agar di akhir masa perkuliahan memperoleh IPK sempurna atau Cumlaude.
Lalu, apa sih pentingnya IPK sempurna itu?
Bukan tanpa alasan, sebab tak dapat dipungkiri bahwa nilai IPK secara tak langsung seringkali dijadikan parameter untuk menentukan karakter dan kesuksesan mahasiswa di bangku perkuliahan, dimana mahasiswa dengan IPK tinggi digambarkan sebagai sosok atau pribadi yang tekun, berdedikasi, dan berkompeten.
Sebagai mahasiswa, memang sudah sepatutnya kita mengusahakan nilai yang terbaik dengan fokus mengikuti setiap tahapan pembelajaran. Selain penting untuk mendaftar beasiswa, nilai IPK juga berpengaruh saat kita menapaki dunia kerja, dimana untuk beberapa posisi yang mengutamakan keahlian teknis. Pencantuman IPK menjadi syarat utama saat melamar kerja. Para pewawancara akan melihat bahwa para pelamar yang memiliki IPK tinggi adakah kandidat berkualitas yang menarik untuk diajak berkecimpung ke dalam dunia profesional. Terbukti bahwa banyak sekali lowongan yang memberikan standar IPK tertentu sebagai persyaratan utamanya, sehingga IPK diibaratkan sebagai tahap penyaringan awal sebelum maju menghadap meja wawancara.
Sayangnya, fenomena ini membuat banyak mahasiswa hanya terpaku dengan nilai dan mengabaikan ilmu untuk mereka bawa pulang dengan alasan yang penting memiliki IPK yang tinggi. Padahal, IPK tinggi tidak menjamin bahwa seseorang benar-benar memahami teori yang selama ini dipelajari. Selain itu, prestasi akademik bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, sebab perusahaan tentu memiliki penilaiannya masing-masing.
Tak jarang banyak ditemukan perusahaan yang mencari karyawan bukan berdasarkan nilai, melainkan berdasarkan softskill dan keinginan dalam memaksimalkan kemampuannya dengan berani mencoba berbagai hal seperti mengikuti magang, organisasi, kepanitiaan serta hal lainnya yang dijadikan tolak ukur nilai daya mahasiswa karena dianggap sebagai orang yang profesional dalam membagi waktu, menentukan skala prioritas, dan kemahiran bekerja dalam tekanan.
Terlebih, di masa sekarang persaingan bukan hanya dari sesama anak negeri, namun para mahasiswa harus siap menjadi SDM yang memiliki nilai saing tinggi dengan memaksimalkan potensi di luar bidang akademik, karena bisa jadi profesi yang kita tekuni akan bertolak belakang dengan bidang ilmu yang kita pelajari selama kuliah.
Jadi, wawasan dan pengalaman yang kita dapat dari luar perkuliahan menjadi poin tambahan yang membuat kita satu langkah lebih maju.
Lagipula, mahasiswa dengan IPK rendah tak lantas bisa diasumsikan sebagai mahasiswa yang hanya berleha-leha dan tak berusaha. Tentu ada berbagai faktor penyebab, baik internal maupun eksternal.
Juga, mahasiswa yang tidak memiliki prestasi di bidang akademik belum tentu tidak memiliki keahlian di bidang lain yang bisa saja lebih diutamakan saat melamar pekerjaan pada posisi tertetu.
Alangkah baiknya jika teman-teman mahasiswa mampu memaksimalkan antara nilai dan pengetahuan, menjaganya agar tetap berjalan beriringan. Jangan sampai karena begitu terpaku dengan nilai, kesempatan dan peluang untuk memaksimalkan potensi diri jadi terbuang.
Redaktur: Monika Krisna Br Manalu
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.