Kenaikan PPN 12%, Beban Baru untuk Warga Indonesia

Oleh: Naziratun Nikmah

Suara USU, Medan. Rencana pemerintah Indonesia untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 menuai kritik tajam. Kebijakan ini, yang telah disahkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2021, dianggap dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Kebijakan ini secara langsung meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya menekan daya beli masyarakat. Kelompok berpendapatan rendah akan merasakan dampak paling besar, karena pengeluaran mereka sebagian besar teralokasi untuk kebutuhan pokok. Selain itu, usaha kecil dan menengah (UMKM) berpotensi menghadapi kenaikan biaya produksi dan kesulitan menyesuaikan harga jual, yang dapat mengancam keberlanjutan bisnis mereka.

Menurut laporan dari Detik, daya beli masyarakat diperkirakan akan terus tergerus akibat kenaikan ini, memperburuk tekanan ekonomi yang telah dirasakan akibat inflasi tinggi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Penurunan konsumsi juga dapat memperburuk stabilitas sosial, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Kenaikan PPN juga berpotensi mendorong inflasi. Berdasarkan analisis yang diterbitkan oleh The Conversation, setiap kenaikan tarif PPN sebesar 1% berkontribusi pada peningkatan harga agregat hingga 1%. Hal ini akan mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Penurunan konsumsi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan ini juga dinilai dapat memperlebar kesenjangan sosial. Kelompok kaya sering kali memiliki kemampuan untuk memanfaatkan insentif pajak atau mengalihkan beban, sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah justru semakin terbebani. Dalam laporan BBC Indonesia, disebutkan bahwa tanpa kebijakan pendukung yang signifikan, seperti subsidi atau bantuan sosial tambahan, kenaikan PPN berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Di dunia usaha, khususnya UMKM, menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan harga produk mereka. Dalam laporan dari CNN Indonesia dan Tempo, disebutkan bahwa pengusaha ritel dan pelaku usaha di sektor mal yang masih berjuang bangkit dari dampak pandemi, berisiko mengalami penurunan penjualan dan pengunjung. Jika daya beli masyarakat terus melemah, pelaku usaha mungkin harus mengambil langkah-langkah efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menekan defisit anggaran, langkah ini dinilai kurang bijak jika tidak disertai kebijakan kompensasi.

Beberapa rekomendasi yang diusulkan oleh para pengamat ekonomi meliputi peningkatan bantuan sosial yang tepat sasaran untuk masyarakat miskin, insentif pajak atau subsidi produksi bagi UMKM guna menjaga keberlanjutan bisnis kecil, transparansi serta efisiensi dalam penggunaan dana hasil kenaikan PPN, dan optimalisasi penarikan pajak dari kelompok berpenghasilan tinggi atau perusahaan besar untuk mempersempit kesenjangan tanpa membebani masyarakat kecil.

Menurut laporan Tempo, pemerintah sebelumnya sempat menunda kenaikan tarif PPN ini karena mempertimbangkan dampak pandemi pada perekonomian. Penundaan tersebut mengindikasikan perlunya evaluasi lebih lanjut atas kesiapan masyarakat dan dunia usaha dalam menghadapi kebijakan ini. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan kenaikan PPN sangat tergantung pada mitigasi dampak yang efektif.

Pada akhirnya, kenaikan PPN 12% memunculkan banyak pertanyaan, terutama terkait dampaknya terhadap masyarakat luas, khususnya kelompok berpenghasilan rendah. Kebijakan ini berisiko menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pemulihan ekonomi, tanpa memberikan manfaat langsung yang nyata bagi rakyat kecil. Jika tidak disertai langkah mitigasi yang efektif, kebijakan ini berpotensi memperdalam ketimpangan sosial dan justru melemahkan fondasi ekonomi nasional. Pemerintah perlu memastikan bahwa langkah ini benar-benar sejalan dengan upaya menciptakan kesejahteraan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat.

Redaktur: Fatih Fathan Mubina