SUARA USU
Entertaiment

Kisah Tak Biasa “Orang-Orang Biasa”

Penulis: Yulia Putri Hadi

“Mereka yang ingin belajar, tidak bisa diusir.”

Buku ke-10 Andrea Hirata yang bergenre perampokan dengan tema pendidikan ini menceritakan tentang sepuluh orang miskin sekawanan. Rusip, Nihe, Junilah—pekerja cleaning service; Dinah—penjual mainan anak-anak; Tohirin—buruh panggul di pelabuhan; Honorun—sang guru honorer; Salud—penggali kubur; Sobri—sopir mobil tangki septic; Debut—penjual buku, dan Handai—pengangguran. Yang dipertemukan di barisan bangku paling belakang saat SD, terkumpul secara alamiah berdasarkan kecenderungan bodoh, aneh dan gagal.

Cerita hebat ini bermula dari Aini, anak Dinah, salah satu dari kawanan itu. Aini adalah anak bodoh yang sama persis seperti ibunya, selalu mendadak sakit perut setiap belajar matematika. Namun, Aini bercita-cita menjadi dokter.

Ia belajar mati-matian hingga akhirnya diterima di Fakultas Kedokteran. Namun apa daya, tidak ada uang untuk membiayainya, untuk hidup saja susah. Kawan-kawan Dinah pun merencanakan sesuatu yang nekat agar dapat menguliahkan anaknya menjadi dokter.

“Tangkap! Tangkaplah orang miskin yang berjuang agar anaknya bisa sekolah! Kita ini bukan merampok, Dinah! Kita ini melawan ketidakadilan! Tengoklah banyaknya anak-anak pintar miskin yang tak dipedulikan Pemerintah! Tengoklah jurusan tertentu hanya dapat dimasuki orang-orang kaya! Tengoklah langkahnya anak-anak orang miskin jadi dokter! Mendaftar ke fakultas itu saja mereka tak berani! Padahal kecerdasan mereka siap diadu! Ilmu hendaknya hanya tunduk pada kecerdasan, bukan pada kekayaan!”

(halaman 117)

Memang sebuah realita di negeri ini, banyak anak pintar yang tidak dapat kuliah karena tidak punya biaya. Pemerintah menyediakan beasiswa, namun tidak merata, bahkan anak-anak orang kaya pun ikut berebut untuk mendapatkannya. Akhirnya yang benar-benar membutuhkan malah tidak kebagian.

Tulisan Andrea Hirata memang tidak bisa lepas dari cerita orang-orang marjinal, orang-orang kecil yang terpinggirkan. Tapi ia selalu menuliskan tentang semangat orang-orang kecil memperjuangkan hidupnya, bukan orang-orang kecil yang pasrah. Dalam buku ini, banyak adegan yang menggambarkan betapa jahatnya para pemilik kekuasaan menindas orang-orang kecil.

Tidak hanya berisi kritik sosial, buku ini juga mengajarkan tentang moral dan menyadarkan bahwa ada orang-orang yang nasibnya tidak seberuntung kita. Hari ini kita bisa makan enak dan membeli apapun yang kita mau.

Namun apakah kita pernah peduli, bahwa di belahan bumi lainnya ada orang-orang yang untuk sekali makan saja harus banting tulang bahkan mempertaruhkan nyawa mereka.

Karakter lain yang menarik adalah Inspektur Abdul Rojali, sosok yang jujur dan patuh pada hukum. Meski gajinya pas-pasan untuk membiaya kehidupannya, ia anti korupsi dan anti suap berapapun nominalnya.

Inspektur selalu didampingi oleh sersan yang sangat setia dan hormat pada atasannya, ia senantiasa siap sedia ketika inspektur membutuhkannya. Mereka berdua menyadarkan kita bahwa di negeri ini masih ada aparat berhati mulia yang mengabdi pada negeri dengan tulus dan ikhlas.

“…..Menegakkan hukum adalah pekerjaan yang mulia, Sersan!”

(halaman 22)

Trio Bastardin dan dua boron, tukang buli. Dragonudin, seorang pencuri yang jujur. Guru Akhirudin yang rindu berkarya. Ibu Atikah, seorang kepala bank yang mendadak jadi detektif. Mul, si kwartet bandit. Serta masih banyak lagi tokoh dan cerita unik yang akan kita temukan dalam buku ini.

Kepolosan para tokoh yang khas melayu dan adegan-adegan konyol, akan membuat kita tertawa terpingkal-pingkal.

Bacalah, dan anda akan mendapat kejutan di akhir buku ini!


Redaktur Tulisan : Orsella Nuraina


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Kenal Lebih Dekat Fatou Samba, Idol K-Pop berdarah Afrika

redaksi

Buku Kedua dari Tetralogi Buru Karya Pramoedya : Anak Semua Bangsa

redaksi

Inang: Kasih Ibu Sepanjang Masa

redaksi