SUARA USU
Opini

Kurang Menjualnya Budaya Indonesia

Oleh Muhammad Keyvin Syah

Indonesia adalah negara yang sangat beragam dalam segi budaya. Bayangkan saja kita mempunyai ratusan bahasa, berbagai macam adat budaya, dan makanan khas di setiap daerahnya. Sebut saja tari tor-tor di sumatera utara, makanan khas Minangkabau, dan kain ulos. Sejarahnyapun tidak kalah panjang dari kerajaan Kutai Kartanegara hingga masa kini.

Ada banyak budaya yang memiliki nilai jual tinggi. Namun kawula muda seakan-akan lupa jati dirinya. Mereka lebih menggemari budaya jepang, korea atau barat. K-drama atau anime begitu populer di kalangan remaja.  Film Amerika sudah lama menguasai pangsa pasar global, sebut saja Disney dengan Marvelnya atau Warner Bros dengan Harry Potternya. Bahkan India sudah sukses dengan Bollywood-nya. Hal ini tentu harus menjadi pemicu agar kita dapat mengkapitalisasi keberagaman nusantara.

Ajang seremonial

Sudah jadi rahasia umum, jika budaya setempat hanya untuk menyambut tamu yang akan datang.  Pejabat-pejabat dari luar daerah di sambut dengan tari-tarian, makanan dan hadiah cinderamata. Ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah, kita dapat melihatnya di Asian Games 2018 atau PON 2020 di Papua. Begitu meriahnya penyambutan tamu dari negara lain atau provinsi lain. Namun, hal itu hanya dapat kita lihat beberapa tahun sekali atau saat kunjungan pejabat pemerintahan.

Kurangnya dukungan

Pada akhir 1990-an pemerintah Korea Selatan mendorong industri kreatif untuk menyaingi Jepang yang sudah lama terkenal dengan manga dan animenya. Hasilnya kemudian kita kenal dengan K-pop dan K-drama. Keberhasilan film parasite menjadi pemenang Oscar tahun 2020 kategori best picture dan begitu populernya serial Squid Game beberapa bulan yang lalu. Menjadi tanda keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangkan industri kreatifnya. Tentu hal ini seharusnya dapat membuka mata pemerintah akan begitu besarnya potensi industri kreatif. Pemerintah Indonesia sudah mengesahkan UU No 5 tahun 2017 tentang pemajuan budaya. Ini tentu langkah yang perlu di apresiasi. Namun belum terlihat ada langkah nyata dan konkrit dalam pemajuan kebudayaan ini.

Kemasan yang monoton

Sinetron dengan plot cerita yang berulang, reka ulang karakter warkop DKI, atau film-film dengan aktor yang sama. Tentu sudah banyak kalangan yang sadar bahwa banyak kemonotonan di industri film kita. Sutradara dan krunya seakan kehabisan ide, mereka hanya membuat cerita komedi, horror, atau romantis. Aktor dan aktris yang sama seperti tidak ada talenta lain. Masalah finansial menjadi penghalang untuk membuat sinematografi film yang bagus ini membatasi untuk membuat film sekelas Lord of The Ring. Di lain pihak, lembaga sensor terkadang terlalu berlebihan dalam melalukan sensor, ini tentu membatasi animator dan komikus dalam membuat karyanya.

Negara dengan potensi besar yang memiliki 270 juta masyarakat di dalamnya, sayang sekali jika tidak mampu mengembangkan budayanya menjadi pundi-pundi uang. Dengan perencanaan yang matang bukan tidak mungkin 1 dekade  ke depan kita dapat menyaingi industri kreatif Jepang atau Korea. Tentu ini juga harus ada peningkatan mutu dan talenta yang ada. Kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan dan mencintai budaya juga harus di tingkatkan. Festival budaya bisa menjadi nilai lebih untuk sektor pariwisata kita. Tentu kita tidak ingin hanya pulau dewata yang di kenal wisatawan mancanegara.

Redaktur: Yulia Putri Hadi


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Organisasi Intra dan Ekstra Kampus, Kamu Pilih yang Mana?

redaksi

Dosen Telat Dimaklumi, Mahasiswa Telat Dimarahi. Apakah Adil?

redaksi

Menilik Dampak Batubara dan Limbahnya dari Sudut Pandang Aktivis Lingkungan!

redaksi