Oleh : Fathan Mubina
Suara USU, Medan. Sering sekali kita mendengar pesan “baca buku kalian yaa” saat guru maupun dosen mengakhiri kelasnya, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan, banyak orang yang mengabaikan wejangan baik dari sang pemberi pesan. Banyak orang yang cenderung terlalu menyepelekan kata-kata sakral dari para orang tua yang telah banyak makan garam.
Dilansir dari kalderanews, angka buta huruf Indonesia di masa proklamasi kemerdekaan, mencapai angka 97%, bayangkan saja, hanya 3% orang yang mampu memahami huruf pada zaman itu, maka guru-guru yang mengingatkan kita untuk rajin membaca, bisa jadi merupakan orang yang pernah merasakan pahitnya kesusahan dalam membaca, pahitnya menelan ketidaktahuan, dan sangat ingin masa depan Indonesia lebih baik dengan cara memberi pesan kepada murid-muridnya.
Pada saat ini, kebanyakan manusia tidak merasakan pahitnya ketidaktahuan lebih tepatnya belum merasakannya. Dengan alibi, segala informasi mudah didapatkan melalui gawai-gawai canggih yang berkerja dalam sepersekian detik, lalu teng, keluarlah berbagai sumber informasi. Alhasil, kegiatan membaca menjadi terlupakan oleh banyak orang yang menduduki bangku perkuliahan. Namun, apalah daya apabila pola pikir kita semua sudah diatur sejak kecil menjadi seorang konsumtif oleh nenek moyang (baca: penjajah).
Muncul sebuah pertanyaan maha membingungkan, membaca adalah sebuah kebutuhan atau keterpaksaan?
Sebagai seseorang yang sudah merasakan hidup lebih dari 216 bulan dan melewati banyak fase hingga akhirnya menjadi seorang mahasiswa, mau tak mau membaca merupakan sebuah keterpaksaan, dipaksa oleh keadaan yang tidak memungkinkan untuk tidak membaca. Maka keterpaksaan tersebut berubah menjadi kebutuhan apabila seorang mahasiswa/i menyadari bahwa mau tak mau, membaca merupakan tuntutan dasar bagi seluruh manusia, terutama bagi orang yang menyadari bahwa salah satu cara mendapatkan ilmu adalah dengan membaca.
Sudah bukan bacaan ideal bagi kita (baca: mahasiswa) untuk membaca buku-buku cerita untuk hura-hura yang didominasi sepenuhnya oleh gambar. Bukan sebuah larangan untuk membaca sebuah komik ataupun bacaan lain, hanya saja tidak sepatutnya porsi untuk menghibur diri lebih banyak dibandingkan dengan porsi investasi masa depan dengan membaca buku ilmiah.
Maka, apakah kita (baca: mahasiswa) yang sering digadang-gadangkan sebagai seorang intelektual muda, tidak ingin menjadikan membaca menjadi sebuah kebiasaan?
Redaktur : Elnada Nadhira Saleh
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.