SUARA USU
Opini

Memelihara Mental Pembangkang Melalui Senioritas

Sumber foto : www.qureta.com

Penulis : Oleh : M. Wirayudha Azhari

Suara USU, Medan. Perguruan Tinggi merupakan sebuah kelanjutan dari pendidikan tingkat menengah. Tentunya mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi merupakan sebuah transisi yang kuat setelah pendidikan tingkat menengah.

Transisi kata siswa menjadi mahasiswa pun merupakan sebuah gerak menuju fase pendidikan yang lebih bersifat universal. Perbedaan paling mencolok antara tingkat pendidikan ini adalah bobot pendidikan itu sendiri. Pada perguruan tinggi sendiri, para siswa akan merasakan suatu sistem dan ruang lingkup pendidikan yang lebih besar. Dikelilingi oleh banyak kalangan dari berbagai usia, latar belakang, hingga ragam pemikiran yang akan menyatu pada sistem pendidikan tinggi tersebut. Begitulah penambahan kata maha sebelum kata siswa tadi menjadi penguat dan penyemat tanda ia akan mengeyam pendidikan yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Perguruan Tinggi pun acap kali disebut sebagai peradaban manusia. Barisan akademisi dan intelektual berbaris rapi pada setiap sisi Perguruan Tinggi. Penyebutan “peradaban manusia” ini bukan hanya sekedar sebutan belaka, manusia benar-benar akan dibentuk karakter hingga adabnya demi mewujudkan lahirnya peradaban manusia yang lebih maju lagi kedepannya. Kiranya, begitulah siklus pendidikan tinggi ini terus berjalan.

Namun realitas sosial kini mampu berkata lain, dambaan sebuah pusar peradaban itu kian terkikis dengan maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkungan elit tersebut. Kekerasan-kekerasan tersebut tak ayal dilakukan oleh mahasiswa terhadap mahasiswa, mahasiswa terhadap dosen, hingga dosen terhadap mahasiswa.

Menilik 3 tahun kebelakang, pembelajaran daring lumayan memperkecil angka-angka kekerasan tersebut. Namun, menjelang pertemuan tatap muka yang beberapa minggu kebelakang telah terlaksana di beberapa kampus, kini mulai kembali dihantui oleh kekhawatiran atas terjadinya tindak kekerasan.

Berdasarkan data yang diperoleh, kerap kali kasus kekerasan ini muncul dari tangan-tangan kotor senior terhadap juniornya. Kasus terakhir yang masih hangat dalam kepala kita sendiri adalah kasus yang menimpa beberapa mahasiswa baru di Universitas Tirtayasa beberapa waktu lalu.

Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) atau dalam beberapa tahun terakhir dikenal dengan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) mulanya diharapkan sebagai sebuah wadah untuk pengembangan tahap awal bagi mahasiswa baru. Transisi yang cukup kuat ini tentu saja membutuhkan setidaknya pengajaran awal dari senior maupun dosen sebagai landasan dan pijakan awal mahasiswa baru sebelum ia mengenyam pendidikan tinggi tersebut. Namun tak dapat dipungkiri wadah ini kerap kali disalahgunakan oleh oknum-oknum bertangan kotor. Dengan dasar “penguatan mental” kiranya mereka dapat berbuat suka-suka atas junior mereka. Penguatan mental yang diharapkan mungkin saja seperti etika, sopan santun, dan juga solidaritas. Namun hal-hal yang mereka harapkan tersebut sering kali dilakukan dengan cara yang salah hingga menimbulkan munculnya “Mental Pembangkang” dalam diri mahasiswa baru. Budaya dan tradisi kekerasan di lingkungan kampus tampaknya hanya sebuah wadah yang siklusnya tak akan berakhir, karena salah satu alasan paling kuat untuk melakukan hal yang sama kembali adalah “dendam”.

Jika Perguruan Tinggi adalah gudangnya orang-orang yang berpendidikan dan berwawasan tinggi dengan capaian titel dan penghargaan yang berbaris rapi di nama setiap pendidiknya, maka menjadi hal yang tidak bisa diterima jika kasus kekerasan ini masih kerap muncul di Perguruan Tinggi. Pasalnya, kasus-kasus kekerasan bukan merupakan sebuah cerminan bagi karakter dan kepribadian orang-orang terdidik.

Redaktur : Lita Amalia


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Student Loan: Apakah Salah Satu Solusi UKT Nabi Adam?

redaksi

Kebijakan yang Membatasi Kegiatan Mahasiswa Menuai Kritik

redaksi

Budaya Titip Absen di Kalangan Mahasiswa: Solidaritas atau Ancaman Kedisiplinan?

redaksi