Oleh: Fatma Ananta Sari
Suara USU, Medan. Tahi Bonar Simatupang, atau lebih dikenal dengan sebutan T.B. Simatupang, merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Lahir pada 28 Januari 1920, ia tumbuh menjadi seorang pemimpin yang berperan penting dalam perjalanan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Dari pendidikan dasar hingga militer, T.B. Simatupang selalu menunjukkan ketekunan dan kecerdasan yang luar biasa, yang kelak mengantarnya pada berbagai posisi strategis dalam pemerintahan dan militer Indonesia.
T.B. Simatupang yang juga akrab disapa Pak Sim, menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pematangsiantar. Dari sana, ia melanjutkan ke Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO Kristen) di Tarutung, dan lulus pada tahun 1937. Untuk melanjutkan pendidikan menengah atas, T.B. Simatupang harus meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Di sana, ia masuk ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Salemba dan lulus pada tahun 1940. Selama masa pendidikannya di AMS, T.B. Simatupang dikenal sebagai siswa yang cerdas dan berdedikasi.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, T.B. Simatupang mendaftar di Koninklijke Militaire Academie (KMA) atau Akademi Militer Kerajaan Belanda, yang terletak di Bandung. Selama dua tahun pendidikan di KMA, ia menunjukkan prestasi gemilang dan lulus dengan penghargaan sebagai “Kroon-Cadet” atau Kadet Mahkota. Sebagai penghormatan, ia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato perpisahan mewakili akademi.
Setelah lulus dari KMA, T.B. Simatupang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di usia 20-an, ia sudah dipercaya sebagai pembina tentara Indonesia, berkat kecakapannya dalam memimpin dan kapasitas intelektualnya yang tinggi. Ketika angkatan perang dibentuk pada Oktober 1945, T.B. Simatupang menjadi salah satu pemimpin utama, khususnya dalam pengembangan teori, organisasi, pendidikan, dan diplomasi yang berkaitan dengan bidang militer. Dalam dunia diplomasi, T.B. Simatupang juga terlibat sebagai anggota delegasi Republik Indonesia (RI) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal, Den Haag, Belanda pada tahun 1949, untuk menangani berbagai isu militer.
Karier militer T.B. Simatupang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Pada dekade 1950-an, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) dengan pangkat Jenderal Mayor. Dalam kapasitasnya sebagai KASAP, ia memimpin Kepala Staf Gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Namun, masa jabatannya diwarnai oleh peristiwa 17 Oktober 1952, di mana terjadi demonstrasi besar di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen, yang menimbulkan friksi tajam antara Presiden Soekarno dan pimpinan angkatan bersenjata. Akibatnya, Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel A.H. Nasution dicopot dari jabatan dan T.B. Simatupang juga kehilangan posisinya sebagai KASAP pada tahun 1953. Meski demikian, ia tetap aktif dalam militer hingga tahun 1959 sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI.
T.B. Simatupang pensiun muda pada tahun 1959 dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Setelah pensiun, T.B. Simatupang tergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Ia pernah menjadi ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI), Ketua Dewan Gereja se-Asia, dan terakhir ketua Dewan Gereja se-Dunia. Sebagai seorang intelektual, T.B. Simatupang juga terus menghasilkan karya berupa buku dengan beragam tema, mulai dari kemiliteran, gereja hingga ke-Kristenan seperti Laporan dari Banaran (1960), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), dan Iman Kristen dan Pancasila (1984).
T.B. Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada T.B. Simatupang. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan besar di Jakarta Selatan dan wajahnya diabadikan dalam uang logam Rp500,00. Prestasi dan jasa-jasa T.B. Simatupang akan terus dikenang sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Redaktur: Yuni Hikmah
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.