SUARA USU
Featured

Menurunnya Bahasa Ibu di Indonesia

Oleh: Sry Wahyuni (210701039) / Dr Gustianingsih M.Hum.

Suara USU, MEDAN. Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia karena ia menjadi alat komunikasi yang utama. Sebagai alat komunikasi, bahasa meliputi kata, kumpulan kata, klausa dan kalimat yang diungkapkan secara lisan maupun tulisan. sedangkan yang dimaksud dengan bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, apakah itu pada suatu daerah kecil, atau provinsi, atau daerah yang lebih luas. Bahasa menjadi unsur pendukung utama tradisi dan adat istiadat. Bahasa juga menjadi unsur utama pembentuk sastra, seni, kebudayaan, hingga peradaban sebuah suku bangsa. Bahasa daerah dipergunakan dalam berbagai upacara adat, dan dalam percakapan sehari-hari.

Dalam Ethnologue: Language of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, 737 bahasa diantaranya merupakan bahasa yang masih hidup atau masih digunakan oleh penuturnya. Sementara itu, terdapat dua bahasa yang berperan sebagai bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother-language), sedangkan tiga bahasa lainnya telah punah. Beberapa diantara bahasa-bahasa yang masih hidup tadi diperkirakan berada di ambang kepunahan. Ada yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa yang tersedak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan.

Menurut SIL (2001) terdapat beberapa bahasa daerah yang diperkirakan jumlah penuturnya cukup banyak bahkan lebih dari satu juta yaitu bahasa Jawa (75.200.000 penutur), (27.000.000 penutur), bahasa Melayu (20.000.000 penutur), bahasa Madura (13.694.000 penutur), bahasa Minangkabau (6.500.000 penutur), bahasa Batak (5.150.000 penutur), bahasa Bugis (4.000.000 penutur), bahasa Bali (3.800.000 penutur), bahasa Aceh (3.000.000 penutur), bahasa Sasak (2.100.000 penutur), bahasa Makassar (1.600.000 penutur), bahasa Lampung (1.500.000 penutur) dan bahasa Rejang (1.000.000 penutur).

Salah satu bahasa-bahasa tersebut di atas yang belum tertangani secara menyeluruh yakni bahasa Melayu. Hal ini disebabkan karena bahasa ini seringkali “tersembunyi” dalam nama yang beragam sehingga tidak secara serta merta terdeteksi sebagai bahasa Melayu (Lauder 2006:4). Dalam kaitan tersebut, berikut ini dapat dikemukakan sejumlah variasi bahasa Melayu yang terlacak oleh Summer Institute of Linguistics (SIL 2001): bahasa Ancalong Kutai, Bacan, Bayat, Banjar, Besemah, Batin, Bengkulu, Benkulan, Betawi, Bintuhan, Bukit, Dawas, Jambi, Kaur, Kayu Agung, Kelingi, Kerinci, Kincai, Kubu, Kupang, Lako, Lalang, Lematang, Lemantang, Lembak, Linggau, Lintang, Loncong, Lubu, Melayu Ambon, Melayu Bali Loloan, Berau, Melayu Deli, Melayu Jakarta, Melayu Jambi, Melayu Kupang, Melayu Kutai, Melayu Maluku, Melayu Manado, Merau, Minang, Minahasa, Palembang, Tenggarong, Ternate, Meratus, Minangkabau, Mokomoko, Mukomuko, Musi, Ogan, Orang Laut, Padang, Pasemah Panasak, Penesak, Ranau, Rawas, Ridan, Semendo, Serawai, Serawi, Sindang Kelingi, Suku Batin, Supat, Tenggarong Kutai, Tungkal, Tungkal Ilir, Ulu dan Ulu Lako.

Selain bahasa daerah yang masih eksis dengan jumlah penutur yang relatif banyak seperti yang telah diuraikan diatas, masih banyak bahasa daerah yang saat ini penuturnya sedikit dan berada di ambang kepunahan. Berkaitan dengan hal tersebut, Wurm (1998), yang dikutip oleh Crystal (2000), mengklasifikasikan keadaan “kesehatan” suatu bahasa ke dalam beberapa tahapan, sebagai berikut: (1) Potentially endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah; (2) Endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang terancam punah adalah bahasa yang tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa daerah. Penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi menengah (dewasa); (3) Seriously endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap sangat terancam punah adalah bahasa yang hanya berpenutur generasi tua berusia di atas 50 tahun; (4) Moribund languages yaitu bahasa bahasa yang dianggap sekarat adalah bahasa yang dituturkan oleh beberapa orang sepuh yaitu sekitar 70 tahun keatas; dan (5) Extinct languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap punah adalah bahasa yang penuturnya tinggal satu orang.

Faktor-faktor Penyebab Kepunahan

Kepunahan bahasa daerah merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan bijak. Berbagai upaya antisipatif dan serius diperlukan. Untuk itu, mungkin perlu untuk mengidentifikasi akar penyebab kepunahan terlebih dahulu agar dapat dikelola dengan baik. Padahal, banyak faktor yang bisa menyebabkan punahnya suatu bahasa. Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor pendukung yang teridentifikasi sejauh ini.

Pertama, pengaruh bahasa mayoritas yang digunakan bahasa daerah tersebut. Hal ini terlihat pada kasus bahasa Yaben yang dituturkan di Kabupaten Sorong Selatan, khususnya di Kampung Konda dan Wamargege. Bahasa yang dapat diklasifikasikan dalam rumpun bahasa non-Australia adalah bahasa minoritas dengan perkiraan 500 penutur. Penggunaan bahasa etnis Yaben memiliki persaingan atau pengaruh yang kuat dari bahasa Melayu Papua yang dituturkan di Papua pada umumnya. Dalam banyak bidang penggunaan bahasa, kecenderungan masyarakat etnis Yaben lebih memilih menggunakan bahasa Melayu Papua.

Kedua, status komunitas penutur dwibahasa atau bahkan multibahasa. Adalah suatu kondisi dimana seorang penutur dapat menggunakan dua bahasa atau bahkan beberapa bahasa. Dalam situasi seperti itu, transcoding dan coding sering terjadi karena banyaknya penggunaan kosakata dan ekspresi linguistik lainnya dalam pidato (pengucapan). Transcoding adalah penggunaan varian bahasa lain agar sesuai dengan peran atau situasi lain atau karena kehadiran partisipan lain, sedangkan campur kode dapat terjadi sebagai interferensi. Kebisingan adalah efek yang tidak permanen, karena merupakan penyimpangan dari norma bahasa kedua setelah penggunaan norma bahasa pertama atau sebaliknya (Weinreich 1953) dalam Masinambow (1976). Atau, dapat juga dikatakan bahwa penggunaan satuan kebahasaan dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya kebahasaan atau ragam bahasa; termasuk penggunaan kata, klausa, idiom, sapaan, dll. (Kridalaksana 1993: 9.35). Misalnya, dalam kasus bahasa Melayu Manado (selanjutnya: BMM), beberapa satuan kebahasaan yang biasa digunakan penutur merupakan persinggungan bahasa lain dalam BMM. Berikut beberapa contoh interferensi bahasa Melayu dan Inggris Jakarta di BMM: Bahasa asing (English) Noise di BMM: Ngana do ‘pe bae skali eh, thanks dang ne (English) Ngana do’ pe bae skali eh, makaseh dang ne (BMM) ‘Anda baik sekali, terima kasih’ Gangguan dari bahasa daerah lain (Melayu Jakarta) di BMM: Maaf, kwa putus asa. (Melayu Jakarta) Sorry me ne, sonda takang kwa (BMM) ‘Maaf saya tidak tahan’ Pada contoh pertama, tampaknya ada interferensi kata bahasa Inggris dalam struktur bahasa.Bahasa Melayu Manado, khususnya bahasanya satuan (baca: kata) terima kasih ‘Terima kasih’. Sementara itu, contoh kedua dan ketiga menunjukkan persinggungan bahasa Melayu Jakarta dalam struktur BMM yang dicirikan oleh satuan kebahasaan seperti “pertama” dan “Saya tidak bisa menggunakannya lagi”. Fenomena pemakaian satuansatuan bahasa lain seperti itu bukan tidak mungkin suatu saat akan meningkat eskalasinya yang pada akhirnya dapat merugikan BMM.

Ketiga, faktor globalisasi. Era globalisasi saat ini yang terjadi di berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya telah mendorong penutur suatu bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dengan penutur bahasa lain negara lain, terutama penutur bahasa Inggris. negara.

Keempat, faktor migrasi (migration). Migrasi suatu penduduk keluar dari daerah asalnya baik karena pekerjaan, pendidikan, keluarga, atau beberapa faktor lain juga menentukan keberadaan suatu bahasa. Contoh kasus yang dapat disajikan di sini adalah apa yang terjadi pada beberapa orang Manado. Secara umum, mereka tampaknya memiliki sifat keluar. Artinya, mereka cenderung berpikiran terbuka dan cepat menerima nuansa dari luar, termasuk dari segi bahasa. Di satu sisi, karakter tersebut dapat bermanfaat karena dapat dengan mudah dan cepat beradaptasi dengan kondisi sosial yang berbeda.

Kelima adalah perkawinan antar etnis (intermarriage). Interaksi sosial antar etnis yang ada di Indonesia, khususnya perkawinan antar etnis yang terjadi, turut mendorong kepunahan bahasa daerah. Akibat dari perkawinan tersebut, pasangan yang berbeda suku ketika membentuk sebuah keluarga seringkali mengalami kesulitan untuk mempertahankan bahasa nasionalnya dan harus memilih salah satu bahasa suku untuk digunakan dalam percakapan sehari hari. Pemilihan bahasa yang akan digunakan seringkali dipengaruhi oleh penolakan orang lain terhadap interaksi chatting.

Keenam, kurangnya rasa hormat terhadap bahasa nasional sendiri. Bisa terjadi dimana saja dan cenderung terjadi pada generasi muda. Salah satu alasannya adalah pandangan mereka bahwa bahasa daerah tidak menarik atau sulit dipahami. Sedangkan bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa dominan lainnya) dianggap lebih bergengsi daripada bahasa daerahnya.

Ketujuh, kurangnya intensitas komunikasi kebahasaan daerah di berbagai bidang, terutama di sektor domestik. Hal ini mungkin menunjukkan adanya kesenjangan antara yang tua dan yang muda, dimana transfer bahasa antargenerasi terhenti. Orang tua jarang berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan anak-anaknya. Padahal, intensitas komunikasi dengan bahasa daerah, terutama di rumah (antara orang tua dan anak) tentu akan menentukan keawetan bahasa daerah tersebut. Semakin sering suatu bahasa digunakan oleh penuturnya, maka akan semakin berdampak positif bagi upaya menghindari kepunahan bahasa.

Kepunahan bahasa di daerah merupakan fenomena yang harus dicermati dan disikapi secara serius dan bijaksana. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan kepunahan bahasa, seperti yang telah dibahas di atas, tampaknya diklasifikasikan menjadi dua bagian utama, yaitu faktor alam dan faktor tidak wajar. Faktor alam yang tidak dapat dielakkan dapat disebut sebagai bencana alam, pengaruh bahasa mayoritas, masyarakat bilingual atau multibahasa, pengaruh globalisasi, migrasi (migrasi), perkawinan antar suku (perkawinan campuran). Sementara itu, kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, kurangnya intensitas penggunaan bahasa daerah, pengaruh faktor ekonomi, dan pengaruh penggunaan bahasa Indonesia merupakan faktor non kausal.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kepunahan bahasa, diperlukan banyak upaya cerdas dan serius. Hal ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat suku penutur bahasa yang mempertahankan kesetiaan yang kuat terhadap bahasa daerahnya sehingga tidak terjadi peralihan bahasa yang pada akhirnya dapat tercapai yang berujung pada kepunahan. Dibarengi dengan berbagai upaya dokumenter, kajian dari berbagai sudut pandang, bahkan upaya untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa yang terancam punah, upaya menjadikan masyarakat Indonesia multibahasa mungkin perlu dilakukan lebih serius. Artinya, penonton dapat fasih dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia bahasa persatuan, bahasa Inggris bahasa pergaulan internasional, dan bahasa suku bangsa sendiri untuk melestarikan bahasa dan budaya daerahnya.

Daftar Pustaka

Crystal, David.2000. Language Death. United Kingdom: Combridge University Press.

Ethnologue. (2005). Language of The World.

SIL.(2001): Summer Institute of Linguistics

Redaktur: Agus Nurbillah

Related posts

Pendidikan: Seharusnya Jadi Ruang Aman Segala Kalangan!

redaksi

Lekas Pulih – Fiersa Besari : Berjuang, Bertahan, dan Saling Menguatkan untuk Pulih 

redaksi

Benarkah Hapus Email yang Tak Penting Bantu Selamatkan Bumi?

redaksi