SUARA USU
Opini

Pekerja Anak atau Anak yang Bekerja?

Oleh : Novia Kirana

Suara USU, Medan. Apakah semua anak yang masih dibawah umur dan telah melakukan sebuah pekerjaan termasuk pekerja anak? Dalam pasal 68 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan anak. Disebutkan pula, dalam ketentuan regulasi tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. Berarti 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. Dalam pasal 68 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini juga, melarang dengan jelas praktik pekerja anak

Dalam hal ini, bagaimana jika seorang anak berusia di bawah 18 tahun sudah dikategorikan layak bekerja? mengkhawatirkan dengan sisi tumbuh kembang kepribadian, mentalitas dalam bekerja maupun pengetahuan akan mempengaruhi kinerja dalam lingkup ruang kerja mereka. Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan aak kecil, dengan konotasi pengekpoitasian anak dibawah umur atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Lalu, bagaimana yang dikatakan dengan seorang anak yang bekerja?

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan anak yang bekerja adalah anak-anak yang terlibat dalam aktivitas produksi apapun yang termasuk dalam Sistem Neraca Nasional (SNN) paling sedikit selama satu jam dalam periode referensi (BPS,2010). Dengan kata lain, anak yang bekerja itu masih mendapatkan akses terhadap dunia pendidikan, tumbuh kembang, bermain dengan teman seusianya, pembatasan jam kerja dan lainnya.

Dengan contoh, jika ada orangtua yang meminta bantuan anaknya, yang sudah selesai sekolah, apakah itu termasuk kategori memperkerjakan anak? Jawabannya tidak, karena selama anak tersebut masih bisa mendapatkan hak dan bisa menjalani kewajibannya, maka ia bukan seorang pekerja anak. Karena sebagaimana kita yakini, hak anak adalah mendapatkan pendidikan, kasih sayang dan perlindungan bukan hanya dari orangtua tapi juga dari lingkungan tempat anak tumbuh.

Ibnu Khairulsyaban, seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, menjadi salah satu anak yang bekerja menjadi badut di lampu merah sekitaran Jalan Juanda, Kota Medan. Ia mengungkapkan bahwa melakukan pekerjaan itu, karena ingin uang saku lebih, dan tak mau untuk membebani orang tuanya. Ia juga menerangkan bahwa bekerja sebagai badut, dilakukannya pada saat sekolah sudah berakhir dan ia bekerja tanpa paksaan dari siapapun.

“Kalo Ibnu gak pernah bolos sekolah kak, kapan mau nya ibnu aja lagian kak. Mamak Ibnu pun tau, dan ngijinin asal gak bolos sekolah. Ibnu karena cari pengalaman dijalan aja kak, mau tau gimana susahnya cari uang. Kalo ada tugas, yah siap kelas daring sekolah langsung dikerjain. Jadi, jam 7-10 malem baru jadi badut di lampu merah simpang depan sana”.

Dari hal yang dilakukan ibnu, dapat ditarik kesimpulan bahwa ia adalah seorang anak yang bekerja. Mulai dari mekanisme ia melakukan pekerjaan tersebut, waktu yang dihabiskannya dan bahwa keinginannya tersebut tidak ada paksaan dari pihak manapun. Di masa pandemi covid-19, dimana sekolah-sekolah dilakukan dari rumah, membuat anak-anak dapat memiliki banyak waktu yang tersisa. Beberapa anak mungkin hanya akan menghabiskan waktu mereka dengan bermain dan belajar, namun, ada beberapa anak lagi yang menghabiskan waktu mereka untuk belajar dan bekerja, Ibnu salah satunya.

Redaktur: Yessica Irene


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Program Sepeda Kampus USU Dianggap Gagal, Sepeda Rusak dan Tak Layak Pakai

redaksi

Mob Mentality di Kalangan Mahasiswa, Ketika Nalar Kritis Terkikis

redaksi

Sudahkah Mahasiswa Berpikir Modern?

redaksi