Oleh : Muhammad Keyvin Syah
Suara USU, MEDAN. Indonesia adalah negara yang sangat luas, dari sabang sampai Merauke dengan jarak kurang lebih 5000 km. 270 juta jiwa warga tinggal di Indonesia menjadikannya negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Tentu gesekan antar masyarakat dan golongan yang berbeda kepentingan sering terjadi. Terkadang dengan alibi untuk kepentingan orang banyak maka kepentingan orang yang sedikit terabaikan. Namun tentu tidak pantas cara-cara represif di berlakukan terhadap permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Sudah selayaknya hak asasi manusia (HAM) di junjung tinggi.
Hak warga setempat
Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 sudah mengatur tentang hak milik seseorang, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Artinya pihak-pihak yang ingin mengambil sesuatu dari pihak lain dalam konteks ini adalah lahan, maka langkah-langkah yang di ambil harus sesuai hukum yang ada. Harus ada kesepakatan antara dua pihak tanpa ada paksaan dan pelanggaran hukum. Tentu hal ini masih seringkali terabaikan, hal ini terlihat dari kasus di desa Wadas baru-baru ini. Pengerahan aparat dalam jumlah besar tentu adalah tindakan yang berlebihan.
Sertifikat tanah sulit keluar
Sertifikat tanah adalah dokumen resmi bukti kepemilikan seseorang atas sebuah tanah. Ada banyak alasan mengapa banyak tanah belum memiliki sertifikat ini. Buruknya birokrasi sering menjadi alasannya. Di perparah isu KKN dan mafia tanah menjadikan masyarakat enggan berurusan terhadap pemerintah setempat. Hal ini tentu harus diperbaiki dengan adanya transparansi, pemotongan birokrasi yang berbelit-belit dan pemberantasan mafia tanah.
Tanah adat
Tanah adat seringkali menjadi topik yang hangat saat membahas sengketa tanah di Indonesia. Banyak berita tentang sengketa masyarakat adat dengan perusahan sawit atau tambang. “Wilayah Adat adalah satu kesatuan wilayah berupa tanah, hutan, perairan, beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya yang diperoleh secara turun temurun dan memiliki batas-batas tertentu, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat,” Pasal 1 ayat 5 RUU Masyarakat Adat. Hak-hak masyarakat adat akan wilayahnya juga seringkali terpinggirkan. Hal ini tidak terlepas dari perlindungan hukum yang masih minim.
Terlepas dari penyebab konflik agraria yang ada di Indonesia, ada baiknya paradigma tentang mengorbankan yang sedikit untuk yang banyak kita hilangkan. Apalagi jika adanya pelanggaran hukum dengan cara kekerasan untuk menyelesaikan sesuatu. Penegak hukum harus adil dan tidak memihak pihak yang lebih banyak memiliki uang. Masyarakat juga harus lebih kritis dan peduli akan isu ini. Tentu kita tidak mau adanya sengketa dan kekerasan yang terjadi hanya karena sebidang tanah. Hak-hak setiap masyarakat di Indonesia harus dipenuhi oleh negara dengan adil sesuai dengan sila kedua dan kelima Pancasila.
Redaktur : Agus Nurbillah
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.