SUARA USU
Opini

Pentingnya Soft dan Hard Skill di Dunia Pasca Kampus

Oleh: M. Alvi Syahputra

Suara USU, Medan. Beberapa waktu lalu muncul fenomena seorang mahasiswa top ten jurusan teknik mengeluhkan bahwa “ilmu” yang ia dapat di jurusannya tidak bisa membantunya mendapatkan pekerjaan. Alih-alih meningkatkan softskill dan hardskill yang dimilikinya, ia justru menyalahkan dan menjelekkan mati-matian jurusannya ketimbang terus menggali potensi yang ada didalam dirinya

Sebenarnya hal itu sah-sah saja jika dimaksudkan sebagai ungkapan kecewa. Tetapi, kehidupan pasca kampus atau di dalam fase kesulitan mencari kerja tidak sepenuhnya dapat menyalahkan jurusan, apalagi sampai menjelekan jurusan. Sebagai mahasiswa, kita sudah sepatutnya sadar akan pentingnya soft dan hard skill untuk kehidupan pasca kampus nantinya, bukan malah berleha-leha di zona nyaman, apalagi di masa yang sudah mulai ke era 5.0, rasanya di era 4.0 saja masi banyak mahasiswa yang tidak sadar akan pentingnya soft dan hard skill. Tidak mau organisasi , kupu-kupu(kuliah pulang), bahkan beberapa hanya fokus kepada materi yang diajarkan jurusannya saja, anak pertanian hanya fokus pada tumbuhan, anak teknik sipil hanya fokus kepada bagaimana cara membuat struktur bangunan. Padahal tidak ada salahnya jika anak pertanian menguasai coding, anak sipil paham akan rekayasa tumbuhan.

Mahasiswa yang fokus pada zona nyaman

Kebanyakan mahasiswa saat ini berfokus pada zona nyaman, dengan dalih sudah punya pengalaman banyak di organisasi, leadership, padahal itu dapat dikatakan barang lama, kehidupan organisasi kampus tidak dapat disamakan dengan dunia kerja, kemampuan leadership saja juga sudah mulai ditinggalkan sebagai syarat mencari pekerjaan, softskill lainya seperti public speaking dalam komunikasi dapat dikatakan memegang peranan utama dalam dunia yang di gadang-gadang sudah mulai masuk ke era 5.0.tapi nyatanya mahasiswa tidak sadar akan hal itu, “aku gabisa ngomong depan umum soalnya aku introvert”, “aku gak bakat ngomong”, bahkan dalam hal sederhana saja pun “ jangan aku dong yang presentase”, ketimbang meningkatan softskill dalam komunikasi mereka lebih memilih self claim dengan mengatakan dirinya introvert, bahkan seorang introvert sekalipun yang biasanya suaranya akan bergetar ketika berbicara di depan publik pun dapat berlatih untuk meningkatkan softskillnya.

Apalagi di dunia digital ini, siapa yang dapat mengikuti tren perkembangan dia lah yang dapat bertahan, tidak ada salahnya anak pertanian paham website development, anak matematika paham digital marketing, anak Fisika menguasai UI/UX design, anak sastra menguasai data science. Bukannya malah mengeluh salah jurusan, padahal mahasiswanya saja yang tidak konsisten dan serius pada jurusannya dan tidak mau mengembangkan bakat/potensi. Lagipula salah jurusan hanya pada konteks masuk jurusan tidak sesuai bakat. Jurusan apapun dapat di jalankan dengan baik, itulah mengapa kuliah tidak hanya mencari nilai, tetapi meningkatkan skill, mengembangkan bakat, mencari relasi dan pengalaman. Di dunia yang serba digital, studi ilmu di atas harus diakui bahwa hardskill tersebut akan lebih banyak di perlukan di masa yang akan datang, tanpa bermaksud mengeneralisir atau membatasi ruang lingkup passion individu.

Tetapi bukan berarti jika merasa memiliki soft dan hard skill membiarkan akademik menjadi jeblok, keduanya harus beriringan. Bukan malah ketika sampai di dunia pasca kampus mengatakan bahwa ilmu yang di pelajari tidak terpakai di dunia kerja. Kuliah tidak pernah organisasi, softskill tidak pernah digali, hardskill tidak pernah diasah, giliran tidak mendapat pekerjaan beralasan, bilang ini itu susah, supply and demand dunia kerja gak seimbang, lapangan kerja dikit tetapi yang daftar terlalu banyak.

Simplenya begini, softskill itu identik dengan networking, dan hardskill itu identik dengan kompetensi, keduanya harus beriringan, jika teralu mendewakan networking dan merendahkan kompetensi, maka tidak heran ketika banyak politikus bego punya jabatan di beberapa instansi vital.

Mahasiswa yang terlalu berpaku pada nilai, tetapi melupakan ilmu, bagaimana mencari nilai setinggi-tinggi nya tetapi mengesampingkan ilmu. Dengan dalih nilai penting untuk mencari kerja, sah-sah saja seperti itu, tidak ada yang salah, nilai memang penting untuk daftar beasiswa, kerja dan sebagainya, tetapi percuma saja kalau nilai tinggi tetapi ilmunya tidak ada, di dunia kerja juga atasan tidak semuanya memandang nilai, cara berkomunikasi menjadi perhatian utama bisa di bilang karena dilihat secara langsung, banyak yang nilai tinggi tetapi tidak punya hardskill, dalam contoh sederhana, penggunaan Microsoft Word, nilai tinggi tapi gak bisa atur margin, buat daftar pustaka masi menggunakan spasi manual, membuat penomoran romawi tidak paham, membuat tabel masi bingung, menggunakan  microsoft excel tidak tau, memasukan juga rumus tidak bisa.

Mengembangkan softskill lewat kepanitiaan

Mengembangkan softskill dengan ikut kepanitiaan? Boleh banget, tapi nyatanya kultur yang dibentuk sudah beda, alih-alih mengembangkan softskill, justru beberapa kepanitiaan menjadikan anggotanya “mesin uang” dengan disuruh berjualan atau biasa disebut danusan, jika tidak habis disuruh beli sendiri.

Softskill dan hardskill itu penting, keduanya bisa didapatkan di dunia kampus, analoginya seperti ini, 2 orang si alam dan alim disuruh berlayar ke dari pulau A ke Pulau B, diberi kesempatan 1 bulan  untuk pesiapan ,mengisi logistik dan keperluan, alam belajar tentang arah mata angin, cuaca,mesin dan belajar mengatur logistik, sedangkan alim leha-leha, hanya mempersiapkan bahan bakar yang cukup tanpa mau membekali diri dengan managemen logistic yang baik, maka dapat dipastikan yang akan sampai ke pulau B hanya si Alam, bagaimana ia dapat membaca arah mata angin dan cuaca, ketika mesin rusak paham cara memperbaikinya, bisa mengatur logistik selama berlayar. Padahal keduanya sama-sama hanya di suruh berlayar, tetapi Alam mampu membaca hal yang diperlukan untuk menjalani pelayaran tersebut.

Sama seperti jurusan, kalau kamu cuma fokus apa yang diajarkan ilmu di jurusan kamu yang setelah selesai maka akan mentok, ketika dunia pasca kampus berbeda ya salah dirimu sendiri, kalau kalah dengan orang yang lebih matang dan siap, yasudah resiko, salah sendiri tidak mengembangkan softskill dan hardskill. Kecuali kamu punya orang dalam.

Redaktur: Yessica Irene

Related posts

Krisis ISBN, Jadi Tantangan Baru Dunia Penerbitan di Indonesia

redaksi

Menanamkan Kesadaran Toleransi Masyarakat Dalam Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama

redaksi

Terancamnya Nasib Masyarakat Adat di Tengah Mega Proyek IKN

redaksi