Oleh: Grace Pandora Sitorus
Suara USU, Medan. Jelang Pemilu Tahun 2024, akan menjadi fenomena yang lumrah jika kita menemui banyaknya media luar ruang, seperti baliho, videotron, dan billboard di area publik yang dipenuhi wajah politikus usungan dari berbagai macam partai politik. Hal ini tentu tidak lepas dari macam-macam cara berbagai pihak untuk mempromosikan orang – orangnya. Setiap partai pada masa ini akan berlomba berusaha merancang dan menunjukan segala macam tindakan atau perilaku yang bisa menarik perhatian publik. Ada yang menunjukan keberpihakan secara langsung ada juga yang tidak. Salah satu istilah yang sering disebutkan oleh masyarakat umum adalah Politik Pencitraan.
Cambridge dictionary mencatat salah satu makna pencitraan, yaitu sebuah kegiatan atau aksi yang dilakukan demi mendompleng nama atau citra diri menjadi sesuatu yang diinginkan. Biasanya politik pencitraan ini dilakukan pada saat munculnya sesuatu hal yang sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat, seperti bencana alam, kekerasan, keberhasilan suatu lembaga atau segala hal yang bisa membuat para ‘politisi’ ini mendapatkan pandangan/gambaran dimata masyarakat. Di satu sisi ada yang sering menyudutkan para politisi guna memperoleh suara atau perhatian dari masyarakat. Di sisi lain, ada juga yang menganggap ini hal yang lumrah untuk dilakukan karena siapa saja bisa menggunakan cara apa saja selagi baik untuk menunjukkan kebisaan dan kelebihannya.
Sebenarnya politik pencitraan bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Ibarat pedang bermata dua, politik pencitraan bisa berdampak positif juga negatif. Sebenarnya pencitraan ini juga diperlukan dan tujuannya juga tidak sepenuhnya buruk. Karena kembali lagi dengan menunjukkan segala sikap secara langsung, masyarakat bisa lebih merasakan atensi para politisi tersebut dan juga bisa menilai sejauh mana mereka bisa melakukan tugas dan tanggung jawabnya.
Namun, kita juga perlu melihatnya dari sisi kelemahan, yang mana politik pencitraan ini sering kali membutakan publik. Yang awalnya masyarakat bisa merasakan atensi dan empati para politisi ini ketika kampanye, tetapi setelah menang dan menjabat, malah berbanding terbalik. Nah, kalau dilihat dari dua sudut pandang ini tentu sering malah membingungkan kita bukan? Itulah sebabnya kita sebagai masyarakat perlu dengan cermat memilah dan merespon segala tindakan para politisi dengan cermat. Sehingga keputusan yang kita buat untuk memilih calon pemimpin kita nanti di Tahun 2024 tidak ditunggangi oleh rasa kekaguman secara implusif saja.
Jadi kalau ditanya politik pencitraan itu baik atau buruk, kita perlu menelaahnya lagi sesuai porsinya. Kalau teman-teman bagaimana?
Redaktur: Anna Fauziah Pane
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.