Oleh : Tania A. Putri
Suara USU, Medan. Bagi Hepi, alam terkembangnya kini adalah kampungnya, tempat dia berguru rupa-rupa. Jakarta terasa semakin jauh, kampung terasa semakin dekat. Dia masih menimbang-nimbang siapa dirinya kini. Anak Jakarta atau anak yang merantau ke kampung halaman ayahnya?
Paragraf tersebut merupakan penggalan novel Anak Rantau karya Ahmad Fuadi yang terbit tahun 2017 silam. Dalam novelnya kali ini, Ahmad Fuadi menceritakan petualangan Hepi, seorang anak SMP Jakarta yang dikirim ayahnya ke Tanah Minang sebagai hukuman karena tidak belajar dengan serius. Hepi yang merasa marah dengan keputusan sepihak ayahnya bertekad untuk mengumpulkan uang demi kembali ke Jakarta, membuktikan pada ayahnya bahwa dengan kekuatan dirinya sendiri ia bisa.
Selama menjadi anak rantau, Hepi dididik ketat oleh Kakek dan Neneknya. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah kampung bersama dua sahabat barunya, Attar dan Zein. Ia juga berusaha keras mengumpulkan pundi rupiah untuk pulang dengan cara bekerja mencuci piring di lapau, mengurus surau, sampai menjadi kurir.
Pada akhir petualangannya, Hepi menemukan makna dari hidup yang dijalaninya. Melupakan perasaan marah dan kecewa atas keputusan ayahnya dan menyadari bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari pendewasaan diri. Pelajaran berharga itu ia dapatkan dari orang-orang kampung yang ditemuinya, salah satunya Pandeka Luko, “Aku pernah berperang karena dendam dan marah. Akibatnya menyakitkan hati, baik ketika menang apalagi ketika kalah. Karena itu jangan berbuat apapun karena dendam dan marah, tapi bertindaklah karena melawan ketidakadilan”..
Novel ini sangat menarik karena berlatar budaya Minang dengan bahasa daerah dan adat yang diselipkan dalam ceritanya. Novel ini juga memberikan pelajaran dan motivasi dalam memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup, baik tentang luka, kecewa, rindu, dan memaafkan. Terdapat banyak pesan penting dan quotes yang menarik perhatian, salah satunya percakapan perihal pahlawan yang dilupakan, “Aku menulis tentang lucunya dunia ini, tentang orang yang membela yang benar bisa digelari si gila dan boleh ditendang ke penjara. Sebaliknya, orang yang membela yang sesat tapi berkuasa pun bisa mendapat piala dan bahkan bisa jadi raja”.
Redaktur : Zukhrina Az-Zukhruf
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.