Penulis: Fathur Ammar
Suara USU, Medan. Belakangan ini kita lebih sering mendengar Atau melihat berita tentang bunuh diri . Biasanya kita sering melihatnya lewat di beranda media sosial seperti Instagram, Tiktok maupun Twitter (sekarang namanya “X” ) . Orang yang melakukan bunuh diri pun bermacam-macam dengan alasan yang beragam pula. Sosial media yang harusnya menjadi fasilitas penghubung dan hiburan malah menjadi tempat ajang pamer konten bunuh diri.
Menurut laporan Polri , tren bunuh diri terus meningkat , tahun 2021 ada 613 kasus dan tahun 2022 naik menjadi 816 kasus. Jumlah kasus terbanyak adalah di Jawa Tengah, yakni 380 kasus di tahun 2022. Mirisnya kelompok usia remaja lebih rentan untuk bunuh diri dibandingkan yang lain. Salah satu faktor terbesar penyebab bunuh diri kalangan remaja adalah dampak buruk dari media sosial.
Dampak buruk dari media sosial khususnya pada remaja adalah kegagapan untuk mengikuti perkembangan teknologi yang cepat dan kemampuan yang minim untuk mengolah semua informasi. Usia remaja yang masih mencari jati diri menjadikan media sosial sebagai ajang pembuktian dan aktualisasi diri. Mereka berusaha untuk terus-menerus mengikuti trend dan apa saja yang viral. Sehingga timbul rasa Anxiaety (kecemasan) apabila tidak bisa mengikuti trend tersebut.
Para remaja umumnya menjadikan media sosial sebagai ajang membandingkan diri dengan orang lain. Ini dapat merusak citra diri yang sehat. Banyak perempuan merasa penampilannya buruk saat melihat penampilan orang-orang di media sosial
Pada akhirnya para remaja harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial . Seharusnya media sosial bisa dimanfaatkan untuk pengembangan diri dan media ekplorasi untuk melihat dunia secara lebih luas. Bukan hanya sebagai media flexing dan ajang untuk saling merendahkan orang lain.
Redaktur: Taty Kristina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.