SUARA USU
Opini

Begal Payudara, Pikiran Nyeleneh Pelaku atau Korbannya yang Buat Pemicu? Begini Penyelesaiannya!

Oleh: Marta Julisa Lubis

Tidak ada satu pun wanita yang ingin dilecehkan, bahkan laki-laki pun tidak ingin dilecehkan. Seiring berkembangnya waktu, kian hari semakin banyak kasus pelecehan seksual yang makin nyeleneh kalau dipikir-pikir dengan akal sehat.

Begal payudara, kasus pelecehan seksual yang sedikit nyeleneh demi kepuasan pelaku sesaat. Tren begal payudara sebagai pelecehan seksual yang sebenarnya sudah lama ada, kini sedang naik daun.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan begal payudara? mungkin teman-teman yang tidak pernah mendegar kasus ini sedikit bingung dan tidak mengetahui hal ini. Begal payudara merujuk pada kasus pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik, yaitu pelaku yang menggunakan motor menyerang korban dengan cara memegang atau meremas payudara korban. 

Entah apa yang ada dipikiran pelaku hingga berkelakuan diluar akal sehat manusia pada umumnya. Wanita yang berjalan di sekitar trotoar pun menjadi sasaran empuk bagi pelaku. Hal ini menyatakan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman dari pelecehan seksual. 

Perlakuan tidak senonoh pelaku sungguh diluar dugaan, dengan cepat dan sigap pelaku bisa melarikan diri tanpa ada halangan. Siapa sangka berjalan di trotoar menjadi malapetaka dan pengalaman buruk yang dialami beberapa wanita. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba langsung menyambar wanita yang pelaku inginkan. 

Namun yang semakin menyedihkan adalah stigma masyarakat yang menyepelekan kasus-kasus pelecehan seksual atau bahkan menyalahkan korban. Masyarakat beranggapan bahwa korbanlah yang menjadi pemicu hal tersebut terjadi, hal ini biasanya didasarkan pada pakaian korban, tempat dan waktu korban pada saat korban dilecehkan dan lain sebagainya. Ibarat kata sudah jatuh, tertimpa tangga pula, itulah yang menjadi gambaran perasaan korban pelecehan seksual. 

Mempersoalkan pelecehan seksual begal payudara yang kian marak terjadi bagaimana penyelesaiannya ?. Berbicara mengenai pelecehan seksual terkhusus begal payudara tentu tidak lain tidak bukan penyelesaiannya melalui jalur hukum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah pelecehan seskual dengan sebutan perbuatan cabul, hal ini diatur dalam Pasal 289-296 KUHP.

Terkait pelaporan hukum tentang kasus begal payudara tentu harus adanya bukti yang cukup untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu menggunakan lima macam alat bukti, antara lain:

1) Keterangan saksi,

2) Keterangan ahli,

3) Surat,

4) Petunjuk,

5) Keterangan terdakwa. 

Kemudian bagaimana jika kasus begal payudara ini yang minim bukti? karena pada dasarnya kejadian ini sangat cepat terjadi dan pelaku begitu mudah untuk melarikan diri, hal ini tentu menjadi persoalan dalam akses keadilan bagi korban dan menjadi telaah dalam kajian dari substansi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Pada RUU PKS untuk memberikan akses bagi korban terkait dengan alat bukti, tidak hanya terbatas dengan 5 alat bukti seperti yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981, tetapi memang saat ini RUU PKS masih rancangan draf yang belum disahkan dan saat ini masih terdapat kekosongan hukum serta keterbatasan tentang alat bukti mengenai pelecehan seksual.

Maka, korban pelecehan seksual ketika tidak dikuatkan dengan adanya alat bukti, fokus utama tidak hanya pada proses pelaporan hukumnya tetapi juga berfokus pada layanan konseling.

Layanan konseling ini sangat penting bagi korban untuk mengatasi trauma korban, layanan konseling memang tidak bisa menghapuskan secara langsung trauma tersebut tetapi bagaimana trauma ini tidak terus berkelanjutan dan berpotensi memberikan dampak psikologis bagi korban.

Oleh karena, itu Perlu adanya kesadaran bagi pemerintah dan masyarakat betapa krusialnya masalah ini jika tidak ditindak lanjuti dan hanya dianggap angin lalu. Untuk mengatasi hal ini masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama dan saling mendukung, sehingga tidak lagi muncul stigma masyarakat yang melihat masalah ini sebagai aib dan tidak lagi menyalahkan korban. 

Betapa korban perlu dilindungi dan didukung agar kasus-kasus selanjutnya tidak terus terjadi. Setidaknya jika tidak bisa teratasi, bisa mengurangi korban pelecehan seksual di masa yang akan datang.

Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri

Related posts

Hubungan Harga, Psikologi, dan Perilaku Konsumen

redaksi

Duck Syndrome: Tampak Bahagia dari Luar Namun Nyatanya Tertekan

redaksi

Nilai Sesuai Mood Dosen, Related Ngga Sih?

redaksi