Oleh: Muhammad Fadhlan Amri
Suara USU, MEDAN. Beberapa hari lalu Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) membuat vibrasi hebat di media sosial. Pasalnya, akun Instagram resmi mereka @bemui_official mengunggah postingan tentang kritikan mereka terhadap Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Berjudul “Jokowi: The King of Lip Service”, BEM UI langsung mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari pihak Universitas Indonesia(UI). Pihak UI memanggil beberapa elemen dari BEM UI, mulai dari Presiden Mahasiswa hingga beberapa perangkat organisasi lainnya, seperti Kepala Kajian Strategis BEM UI dan Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM UI.
Masyarakat dan mahasiswa pun memiliki berbagai pendapat dan pandangan terkait apa yang diperbuat oleh BEM UI. Ada yang bertentangan dengan mereka dan menyerukan agar postingan tersebut dihapus, terlebih dari elemen-elemen buzzer yang kerap kali menyerang pihak-pihak yang berlawanan dengan pemerintahan, tak terkecuali para mahasiswa.
Namun, BEM UI juga bukan tanpa dukungan, banyak apresiasi dari masyarakat terhadap keberanian mereka dalam menyampaikan dan mengudarakan kritik. Ini menjadi angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kritik-kritik yang pedas namun membangun, serta memiliki dasar-dasar yang kuat diharapkan mampu menyadarkan pemerintahan dan mampu menghadirkan perubahan untuk jalannya roda pemerintahan sehingga menghasilkan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.
Sayangnya kritik-kritik dari berbagai elemen, utamanya mahasiswa kerap kali tidak didengarkan dan malah sang pemberi kritik mendapatkan tindak-tindakan ancaman, upaya peretasan hingga tak jarang di beberapa kasus para aktivis dan pengkritik mendapat tindak kekerasan. Kritik tidak terdengarkan, tidak terbalaskan malah mendapat kekerasan, sangat disayangkan.
Terlebih di kasus kali ini, sang Presiden Mahasiswa BEM UI, Leon Alvinda yang menolak menghapus unggahan tersebut mendapat sorotan khusus. Bahkan salah satu oknum dosen Universitas Indonesia, turut ikut-ikutan dalam merendahkan Leon. Yang lebih parahnya turut membawa background organisasi Leon yang sebenarnya jauh dari konteks kritik itu sendiri.
Pihak universitas seperti terkena dan masuk paradoks yang mereka ciptakan sendiri, ketika ada dari salah satu oknum dosen di UI yang aktif juga sebagai buzzer yang juga kerap kali menjatuhkan lawan politik yang bersebrangan dengan pemerintahan dengan serangan-serangan brutal, menyarang dengan latar belakang keluarga hingga agama, namun mereka tak pernah memproses dan memanggil oknum tersebut.
Muncul paradigma di masyarakat di mana kritikan, kebebasan memberikan pandangan hanya dapat dilakukan untuk menjatuhkan lawan-lawan atau pihak yang bersebrangan dengan pemerintahan. Langkah perguruan tinggi, dalam hal ini UI juga dinilai kurang tepat dan menghambat jalannya kepemimpinan dan kebebasan beraspirasi para mahasiswa. Mengkritik para penguasa bukanlah sebuah kesalahan yang harus diadili di ranah pendidikan. Kritik yang disuarakan oleh mahasiswa dan lembaga lainnya adalah indikasi demokrasi dapat berdiri tegak di republik yang (katanya berasaskan demokrasi).
Merupakan himbauan, kekuatan serta keteguhan moral, sebuah kesadaran paling nyata ketika negara sedang tidak baik-baik saja. Yang saat ini kian hari kian langka keluar dari menara gading perguruan tinggi. Masyarakat butuh dan amat memerlukan peran mahasiswa sebagai agent of changes dan social control. Masyarakat rasanya juga memerlukan pola pikir kritis, suara-suara lantang di tengah disrupsi oligarki, dan nepotis yang kian menjadi-jadi.
Redaktur: Yessica Irene.
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.