Oleh: Muhammad Fadhlan Amri
Suara USU, MEDAN. Nafas Haidan tersengal-sengal di hari Jum’at pagi. Hari ini adalah hari terakhirnya untuk mengurus berkas yang ia upayakan guna mendapatkan potongan UKT 50%. Mengingat, mahasiswa semester 10 jurusan Antropologi ini benar-benar sudah menyelesaikan semua mata kuliah dan tinggal melenggang ke meja hijau.
Haidan merupakan mahasiswa pintar, ia bukan mahasiswa yang suka bolos atau meninggalkan perkuliahan. Namun, ia baru bisa menyelesaikan pendidikan S-1nya di tahun kelima, karena ia dilantik menjadi menteri di kabinet Pemerintahan Mahasiswa kali ini.
Memangku jabatan tersebut, ia pun antusias dan totalitas dalam menjalankan amanahnya, mengingat Presiden Mahasiswa adalah satu perjuangan juga di organisasi eksternalnya. Dan salah satu bentuk totalitasnya ia rela menunda proses sidangnya sampai semua program kerja yang ia pangku sebagai menteri sukses ia tuntaskan. Dan benar saja, kabinet masih menyisakan beberapa bulan, kementerian yang Haidan naungi sukses menyelesaikan semua program kerja yang ada.
Alangkah terkejutnya mahasiswa asli Medan ini ketika mendapat jawaban dari pihak rektorat, ia sudah berjuang 4 hari berturut-turut untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa yang telah melewati 9 semester dan haknya sebagai mahasiswa yang aktif serta berkontribusi untuk kampus, namun jawaban dari rektorat masih sama. Masih belum mampu membantu Haidan.
“Bantuan UKT ini masih kami upayakan ya. Kami tidak mampu menjanjikannya, tapi sekarang kamu siap berkasnya ya, dan menunggu menunggu dengan baik kamu bayar dulu UKT secara penuh,” ungkap pegawai kampusnya.
Bagai petir di siang bolong, Haidan pun khawatir akan masa depannya terancam, kelulusannya akan terhambat lagi. Belum lagi jika harus menunda kelulusannya, akan menambah beban untuk kedua orangtuanya. Kerja kerasnya untuk almamater tercinta pun masih tak dihargai.
Akhirnya mahasiswa FISIP ini bergerak ke sekretariat Pemerintahan Mahasiswa untuk melakukan advokasi untuk mendapatkan haknya. Awalnya ia mencoba menghubungi Presiden Mahasiswa, namun ia tidak mendapat balasan apapun, padahal Haidan merupakan teman terdekat dan salah satu orang dibalik menangnya sang presiden ketika masih mencalonkan diri.
“Sial, harus kemana lagi aku. Tak mungkin jika kukabari Ibu jika aku akan lulus lebih lama lagi. Ibu sedang sakit pasti membutuhkan uang, dan aku juga butuh keringanan untuk lulus. Baiklah, ke sekret aja dulu lah aku,” gumamnya.
Sesampainya di sekretariat, ia pun menemui sang Presiden Mahasiswa. Usut punya usut, temannya itu sedang menjadi narasumber dan sibuk dengan mengisi kegiatan di luar kampus. Tak patah arang, Haidan mencari Menteri Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa (Advokesma).
Namun, sang Menteri juga tak ada. Sudah lama ia menghilang dan tak pernah muncul di sekretariat. Sementara di sekretariat Pemerintahan Mahasiswa hanya diisi mahasiswa baru yang sedang sibuk mengonsep dan membentuk kepanitiaan acara yang membantu Biro Rektorat dalam sosialisasi untuk program barunya.
“Ini lagi sibuk apa sih?” tanya Haidan.
“Lagi sibuk kepanitiaan buat vaksinasi dan sosialisasi Kampus Mahardika Bang. Titipannya Ibu Wakil Rektor, bantuin buat ngonsep dan nyediain kebutuhan acara,” jawab Andhika, staff muda Menteri Dalam Negeri.
“Loh itukan agendanya rektorat. Ngapain kelen yang ngerjain. Kalian itu PEMA, Pemerintahan Mahasiswa. Banyak loh program kerja kalian, ngapain jadi kaya OSIS gini sih,” ucap Haidan kesal.
“Gak tau nih bang. Kemarin juga ada adek-adek Mahasiswa baru semua nanya jaket Almamater dan keringanan UKT. Tapi Pak Pres sebentar aja ke sekre, jadi kami gak bisa bantu jawab, padahal pengen juga ada aksi. Tapi cuma vaksinasi sama sosialisasi aja yang menarik perhatian, kami ngikut aja,” sambung Andhika.
“Oalah kirain dekat sama rektorat bisa menyampaikan aspirasi lebih baik, taunya malah gini. Memang cocok untuk mahasiswa lain banyak ngomentarin kita. Ini juga Advokesma pada kemana deh? Abang sama mahasiswa lain butuh advokasi, kami ngajuin keringanan UKT dilempar terus. Sementara batasnya sudah mepet, hari ini terakhir,” tanya Haidan dengan suara bernada tinggi.
Seisi sekretariat tak ada yang berani menjawab mahasiswa senior itu. Ia pun keluar sekretariat dengan kesal dan hati gelisah. Ia segera berdiskusi dengan mahasiswa lainnya yang seangkatan yang juga aktif berorganisasi. Ada yang menjadi Ketua Panitia Rapat Wilayah, Pekan Ilmiah Nusantara, dan banyak agenda besar lainnya.
Tetapi mereka semua menderita dan mendapat jawaban yang sama. Usaha mereka dibalas nihil oleh pihak rektorat dan Pemerintahan Mahasiswa.
“Kirain rektorat bakalan bakalan baik sama kita yang udah berkontribusi banyak buat kampus, eh ternyata nihil. Padahal selama di PEMA kita udah baik ga ada ngeritik mereka dan lunak, beda sama periode sebelumnya. Apalagi pihak rektorat udah kayak Abang kita sendiri,” ucap Anton .
“Hah, apa maksudmu Ton? Bersikap lunak? Emang selama ini kita sengaja sengaja kaya gitu? ” Haidan terkejut. Tak ia sangka ternyata Anton bisa berfikir dan berucap seperti itu.
“Ya iya lah Haidan. Itu kan arahan BPH. Kita selama ini juga aksi ala kadarnya, menurutmu aksi macam apa yang posternya baru disebar H-1. Apa yang mau diharap dari aksi macam itu. Kita juga ga ada tuh nyenggol rektorat tentang bobroknya kuliah online, lambatnya pengadaan jaket almamater. Sampai-sampai nasib kawan UKM yang hampir mati kita tutup mata kan, demi kenyamanan mereka,” jawab Anton.
“Jangkrik! Bisa-bisanya aku ga sadar. Aku kira PEMA wadah perjuangan idealisme. Nyesal aku Ton sudah terlibat sejauh ini. Orang tua aku mau aku segera lulus, tapi aku kira PEMA mampu membantuku. Benar saja, Pemerintah Mahasiswa katanya. Ternyata OSIS level mahasiswa,” sesal Haidan.
Haidan pun, masih mengharapkan kehadiran Pemerintahan Mahasiswa, ia terus berusaha berkomunikasi dengan berbagai kementrian terkait. Namun apalah daya, sampai akhir usaha berbuah nihil. Ia pun harus mengurus cuti dan membuat orang tua kecewa karena lambatnya lulus kuliah.
Haidan pun akhirnya bisa lulus setelah 1 tahun dan membuka usaha kecil-kecilan untuk membiayai hidupnya. Namun tetap saja, kekecewaannya terhadap lembaga mahasiswa yang paling tinggi di wilayah kampus itu masih tak terobati.
Redaktur: Yessica Irene
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.