Oleh: Alicia Reylina
Suara USU, Medan. Secara terminologis, kaderisasi didefinisikan sebagai proses pencetakan kader. Sedangkan definisi dari kader itu sendiri adalah orang yang diharapkan memegang peranan penting atau dipercaya mampu melanjutkan dan melaksanakan tugas-tugas yang ada di dalam suatu organisasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan kata lain, Kaderisasi adalah aksi. Mencetak manusia atau orang-orang dalam sebuah organisasi dengan menanamkan nilai-nilai budaya tertentu, yang tujuannya adalah ketika nanti orang-orang tersebut telah siap maka akan diberikan tanggung jawab khusus di dalam organisasi atau komunitas tertentu.
Kaderisasi menekankan pada proses pembentukan karakter, salah satu keterampilan yang paling menonjol yang harus dimiliki kader adalah skill kepemimpinan. Melalui berbagai pelatihan kepemimpinan, mahasiswa sebagai kader diajarkan bagaimana memimpin dengan efektif, mengambil keputusan yang bijak, serta mengelola tim secara efisien. Selain itu, proses kaderisasi juga membantu mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, kerja sama tim, dan pemecahan masalah. Mahasiswa yang telah melalui proses kaderisasi ini cenderung memiliki kualitas pribadi yang lebih unggul dan mampu memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitarnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, “Kaderisasi adalah aksi. Mencetak manusia atau orang-orang dalam sebuah organisasi…” dengan demikian kaderisasi sebagai proses pencetakan harus berpatokan pada nilai kemanusiaan; bersifat manusiawi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, proses kaderisasi rasanya perlu dirancang ulang untuk menghilangkan citra negatif yang sering dikaitkan dengan perpeloncoan dan senioritas yang menakutkan. Indoktrinasi kuno sebaiknya dihapuskan agar para kader dapat menemukan alasan intelektual mereka sendiri mengenai nilai-nilai yang dianut oleh organisasi tersebut. Dalam pelaksanaannya saat ini, masih terdapat oknum yang lebih mengutamakan senioritas dan menyimpang dari aturan yang semestinya. Alih-alih berperan sebagai mentor, mereka malah menjadikan kaderisasi sebagai ajang untuk menunjukkan dominasi terhadap junior.
Salah satu contoh nyata dari penyimpangan ini adalah ketika senior-senior kaderisasi menggunakan kesempatan tersebut untuk meneriaki, membentak, dan merendahkan para kader. Tindakan-tindakan ini bukan hanya mencederai semangat kebersamaan yang seharusnya dibangun, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan merugikan psikologis peserta kaderisasi. Perilaku seperti ini bisa berdampak panjang, meninggalkan trauma dan rasa tidak percaya diri.
Tidak jarang juga ditemukan latihan fisik yang sebenarnya tidak perlu dan berlebihan. Latihan fisik ini sering kali tidak didasarkan pada tujuan pembentukan fisik yang sehat, tetapi lebih sebagai bentuk hukuman atau cara untuk menunjukkan kekuasaan senior atas junior. Misalnya, mahasiswa baru dipaksa untuk melakukan push-up dalam jumlah yang tidak masuk akal, berlari di bawah terik matahari tanpa istirahat yang cukup, atau melakukan kegiatan fisik lainnya yang jelas-jelas berpotensi membahayakan kesehatan.
Pembullyan dalam proses kaderisasi tidak hanya merusak moral dan semangat kader, tetapi juga menciptakan budaya ketakutan dan subordinasi yang tidak sehat di lingkungan kampus. Alih-alih menciptakan pemimpin-pemimpin masa depan yang tangguh dan berintegritas, proses kaderisasi yang menyimpang ini malah membentuk individu-individu yang merasa inferior dan penuh tekanan.
Lucunya, ketika seorang kader menyuarakan kesulitannya, seringkali reaksi dari para pengkader tiap-tiap organisasi cenderung template. Kalimat-kalimat seperti “Itu masih mending” atau “Kami dulu lebih parah dek!” atau “Gitu aja ga bisa” selalu menjadi andalan tiap senior. Bukannya memberikan bantuan dan solusi, malah membuatnya menjadi panggung adu nasib siapa yang lebih menderita. Siklus ini tidak akan berhenti karena adanya keinginan untuk balas dendam atas apa yang pernah mereka alami dengan senior terdahulu.
Pada dasarnya, kaderisasi dalam lingkungan kampus memiliki tujuan yang baik untuk membangun dan mengembangkan potensi mahasiswa. Namun dalam prosesnya diperlukan sistem kaderisasi yang terbuka, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan, di mana peran senior tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai mentor yang bijaksana dan penyokong bagi juniornya.
Redaktur : Grace Pandora Sitorus
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.