Oleh: Ester Mulyani. S
Suara USU, Medan. Dewasa ini zaman sudah sangat berkembang, di mana emansipasi wanita sudah diperjuangkan, ketika laki-laki dan perempuan sudah mampu bersaing dalam tingkat yang sama. Akan tetapi, tetap saja fenomena double standard seakan tidak pernah hilang.
Apa itu Double Standard?
Double standard atau Standar Ganda adalah ukuran penilaian atau reaksi yang tidak adil dan tidak proposional kepada subjek berbeda dalam suatu keadaan kasus yang serupa. Istilah ini menyinggung struktur moral yang sering diterapkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat
Istilah double standard tak lepas dari pemikiran patriarki dan adanya suatu stigma yang telah disematkan oleh masyarakat dan terus menjamur hingga saat ini. Seolah-olah ada peraturan tidak tertulis yang menyatakan wanita harus bisa mengerjakan berbagai hal, namun tidak dengan laki-laki. Contoh, seorang perempuan “diwajibkan” untuk bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga, seperti memasak, menyapu, mencuci, dan lainnya. Sedangkan, ketika seorang laki-laki tidak bisa melakukan hal-hal tersebut dianggap normal oleh masyarakat. Padahal, ketika kita telaah hal-hal tersebut sangat tidak berkaitan dengan gender, melainkan hal dasar untuk hidup yang seharusnya bisa dilakukan semua orang tanpa memandang gendernya.
Sikap ego dan pembenaran diri juga berperan dalam menimbulkan pola pikir double standard. Ketika seseorang merasa dirinya lebih tinggi dan harus memuaskan egonya, mereka mulai “mengkotak-kotakkan” dan mendiskriminasi orang-orang yang tidak sesuai dalam standar masyarakat.
Double standard bukan hanya sekadar menjadi pemikiran atau penilaian yang diberikan, namun juga menimbulkan perlakuan yang tidak adil. Hal ini bisa dilihat di dunia kerja saat laki-laki lebih dipercaya untuk ditempatkan di posisi yang lebih tinggi daripada perempuan dengan anggapan bahwa perempuan adalah individu yang lemah dan tidak tegas.
Tidak hanya pada perempuan, efek negatif double standard juga dirasakan oleh laki-laki. Masyarakat menganggap normal perempuan yang menangis, namun ketika laki-laki menangis akan dicap lemah. Padahal, merasakan emosi merupakan hal yang manusiawi dan tidak seharusnya ditahan, melainkan dikontrol.
The double standard is real. Tetapi, kita bisa melawannya dengan membongkar kontruksi gender dalam masyarakat. Pola pikir seperti ini harus sudah mulai diubah dengan memulai dari diri sendiri, hindari sikap judgemental dan belajar memandang suatu hal dari berbagai sisi.
Redaktur: Valeshia Trevana
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.