Oleh: Michelle Chika
Suara USU, Medan. Duck Syndrome, di era sekarang ini pasti kita sebagai mahasiswa pernah melihat salah seorang teman atau bahkan diri kita sendiri yang tampaknya dapat meraih segala sesuatu dengan mudah, ibaratnya memiliki jalan kehidupan yang mulus-mulus aja.
Padahal di balik pencapaian itu semua kita sedang menutupi suatu tekanan dan tetap bertahan di tengah-tengah guncangan yang sebenarnya sulit untuk kita lalui. Istilah tersebut memadankan seekor bebek yang sedang berenang seolah-olah tampak tenang, namun kakinya berjuang keras untuk bergerak agar tubuhnya tetap sanggup berada di atas permukaan air.
Meskipun Duck Syndrome sendiri belum dapat ditetapkan sebagai gangguan psikologis, namun penemuan yang dikemukakan oleh Standford University berdasarkan mahasiswa yang berada di Universitas dapat kita lihat sebagai pernyataan mendekati situasi yang dilakoni di dunia perkuliahan maupun kehidupan setelah lulus.
Ada beberapa faktor akar permasalahan yang dapat memupuk gangguan psikologis tersebut, diantaranya adalah stres dikarenakan perkuliahan, menjadi sosok perfeksionis, tuntutan prestasi akademik dari lingkungan keluarga dan yang mungkin sering dialami oleh kaum muda adalah family overprotection.
Memang semua kembali lagi ke keadaan mental pribadi masing-masing, ada seseorang yang kerap mendapatkan tekanan-tekanan tersebut namun tidak terlalu merasakan adanya dampak yang signifikan. Namun tak bisa kita pungkiri hal tersebut juga dapat berpengaruh bagi kesehatan mental sebagian orang yang mengakibatkan timbulnya depresi, gangguan kecemasan atau biasa kita dengar dengan sebutan anxiety.
Semua risiko yang bisa saja terjadi atau mungkin sedang kita rasakan tersebut tentu dapat teratasi dengan cara meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dengan orang yang kita percaya atau seorang yang ahli di dalam bidang tersebut seperti konselor, mengubah pola pikir menjadi lebih positif, kenali kapabilitas diri sendiri dan yang paling utama adalah menerapkan self-love.
Jika kita terbiasa menerapkan hal-hal positif tersebut maka lambat laun sosok jiwa positif yang selama ini sempat tertutup rapat akan mulai muncul kembali.
Menjadi seorang yang positif bukan berarti diri kita harus bahagia setiap saat, namun hal tersebut berarti bahwa walaupun sedang menghadapi suatu masalah kita tetap yakin jika hari yang lebih baik akan datang.
Redaktur: Monika Krisna br Manalu
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.