Oleh : Nazila Humaira
Suara USU, Medan. Film Yuni merupakan salah satu film yang masih menghiasi layar kaca perfilman d indonesia. Film ini berhasil memenangkan banyak acara penghargaan dan mengharumkan dunia perfilman Indonesia di kancah international.
Film Yuni mendapatkan penghargaan “Platform Prize” di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021, juga di tunjuk sebagai perwakilan film Indonesia untuk masuk nominasi “Best International Feature Film” Oscar 2022, dan panen 14 nominasi Piala Citra termasuk Film Terbaik.
Pemeran utama Yuni (Arawinda Kirana) pun berhasil membawa Piala Citra untuk kategori “Pemeran Utama Perempuan Terbaik” di Festival Film Indonesia, serta di Snow Leopard untuk “Best Actress” di Asian World Film Festival 2021.
Film Yuni tayang perdana pada 9 Desember 2021, yang merupakan hasil karya sutradara dan penulis skenario Kamila Andini. Film ini berani mengangkat isu budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan di Indonesia.
Film ini juga mengajak penonton menelan kenyataan pahit menjadi seorang perempuan di Indonesia lewat pemeran utama Yuni (Arawinda Kirana) sebagai remaja yang di tuntut untuk mengikuti kepercayaan dan juga budaya patriarki di lingkungannya.
Yuni adalah siswa SMA yang pintar dan berambisi dalam mengejar impiannya untuk meneruskan sekolah ke perguruan tinggi. Ia memiliki hobi mengumpulkan barang-barang berwarna ungu, memiliki keingintahuan yang tinggi, dan ingin bebas berekspresi di masa remajanya.
Namun, ia harus menelan kenyataan pahit ketika mendadak seorang laki-laki yang ia tak kenal melamarnya. Terdapat kepercayaan di lingkungan tempat Yuni tinggal, yaitu pamali atau akan menjadi hal buruk jika seseorang menolak lamaran karena akan mendapatkan malapetaka. Situasi tersebut membuat Yuni stres dan menjadi bahan perbincangan di sekitar tempat tinggal maupun sekolahnya.
Yuni harus mendewasakan diri di usia yang masih tergolong muda. Melawan prinsip kalau jalan hidup perempuan pasti ujung-ujungnya ke dapur, menjadi seorang istri, dan tunduk pada suami. Tak perlu susah-susah mengejar impian atau cita-cita.
Film ini juga menyinggung masalah pernikahan dini, pendidikan seks, dan juga LGBT, yang di tampilkan dengan jujur, transparan, dan apa adanya, tidak seperti kebanyakan film drama yang lain.
Masing-masing karakter perempuan di film ini juga memegang kendali hidupnya dengan sangat kuat,tetapi dipatahkan sistem sosial yang menyebabkan setiap dari mereka sudah melawan sesuai kemampuan mereka. Namun, tetap terpojokkan dan pasrah untuk menerima sistem-sistem yang sudah melekat di masyarakat.
Salah satu teman Yuni, Suci Cute (Asmara Abigail) yang memiliki karakter yang kuat dan memilih jalan hidupnya sendiri, hidup dengan bebas melawan sistem-sistem yang ada di lingkungannya. Sebelum itu, ia juga sempat berada di titik terendahnya, ketika ia harus menikah di umur yang dini dan menjadi korban kekerasan oleh suaminya.
Sama seperti ibu Lies (Marissa Anita) guru yang mendukung impian Yuni untuk masuk perguruan tinggi pun berani untuk melanjutkan pendidikannya dan memegang kendali penuh atas jalan hidup yang ia miliki. Ia mengajarkan pada Yuni bahwa perempuan juga bisa memiliki banyak pilihan selain menikah di usia dini.
Film Yuni menyuarakan suara perempuan-perempuan di Indonesia untuk terbebas dari belenggu patriarki dan dari isu-isu perempuan, serta memilih jalan hidupnya sendiri dengan bebas, bukan hanya sekadar memenuhi keinginan orang lain.
Film ini dibawakan seperti melihat kehidupan sehari-hari,dan membahas isu, serta konflik sosial yang masih ada di sekitar masyarakat secara ringan dan mudah di mengerti, dengan bahasa Jawa-Serang sebagai bahasa utama. Film ini menjadi rekomendasi untuk di tonton, agar kamu paham seorang perempuan juga memiliki impian, cita-cita, jalan hidup, dan juga seorang manusia.
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.