SUARA USU
Sastra

Hujan Sore

Oleh: Nurseha

Matahari mulai merangkak ke dinding langit. Bumi berpeluh keringat sebab panasnya. Padahal gerimis berbisik sepanjang Subuh tadi. Tak terkira dinginnya sehingga membuatku menggigil. Namun, sekarang berbeda. Keadaan pasar tempatku bekerja tak dapat dikendalikan. Pembeli yang memenuhi setiap sudut pasar sudah mengambil lapak udara. Belum lagi jalanan becek dan sangat  kotor. Aku merasa pengap dan lemas. Badanku pun dipenuhi peluh.  Aku tak hentinya mengelap dahi yang sudah dibanjiri keringat. Namun, saat mataku terhenti pada Tulang, aku langsung menyadari bahwa pekerjaannya tidak semudah yang aku pikirkan. Tanpa berpikir panjang, segera aku membantunya memindahkan barang dagangan ke depan. Meskipun ia sibuk, aku masih sempat melihat senyuman di wajah Tulang.

Hari ini merupakan hari kedua aku bekerja bersama Tulang. Karena aku merasa bosan di kamar, aku memutuskan untuk ikut bekerja dengannya di pasar. Awalnya ia menolak. Mukanya yang sudah tampak sangar, terlihat memerah saat mendengar permintaanku.

“Bolehlah Tulang, dari pada di kamar seharian.” Ucapku. Sebenarnya dari dalam hati, jangankan mengatakan hal itu, menatapnya saja aku takut. Tapi aku tetap berusaha keras melawan rasa takut itu. Karena di sini aku hanya berusaha untuk mencari kegiatan agar aku tidak terlalu memikirkan kepedihan itu.

“Kau pikir, aku menyuruhmu datang ke sini agar bisa aku jadikan babu, Hah!” suaranya pelan namun aku bisa merasakan amarahnya. Nantulang di dapur pun berusaha menengahi. Ia meminta agar aku tak melanjutkan perkataanku. Tapi sepertinya hari kelahiranku sama dengan Tulang, sehingga dari dalam hati,  aku dengan keras melawannya.

“Setiap hari, hanya mama yang aku pikirkan.” Tangan Tulang yang tadi mengepal, sekarang terlihat terbuka. Matanya penuh sendu saat menatapku. Hampir aku melihat genangan di matanya, segera ia mengiyakan permintaan dan langsung menyuruhku untuk masuk ke kamar.

Dan di sini lah aku. Kesibukan membuatku lupa akan segala kepedihan. Sepertinya hidupku baru saja dimulai hari ini. Pekerjaan mengalihkan segalanya. Namun, sayangnya kesenangan itu hanya sesaat. Tak lama, saat Tulang memanggilku.

“Tomi, sini dulu kau.” Aku langsung berlari ke mejanya

“Ada apa, Tulang?” Tanyaku dengan penasaran.

“Ini, ada telpon.” Tulang langsung menyodorkan telepon genggamnya padaku. Aku sempat ragu untuk mengambilnya. Namun, saat melihat nama yang tertera disitu membuatku menjadi gugup untuk menjawab. Sempat aku mematung. Paman langsung mendorongku ke belakang. Ia menyadari betapa sakralnya percapakan antara Ayah dan anak ini.

“Halo, Tomi. Apa kabar?” tanganku mengepal. Nafasku naik turun. Mendengar suaranya saja membuatku marah. Jika ini adalah teleponku, mungkin sudah kubanting. Aku memilih untuk tidak menjawabnya. Hampir aku mematikan telpon itu, suara seraknya kembali berbicara.

“Besok papa akan menikah. Datanglah ke sini.”

Tak ada jawaban. Aku memilih untuk mematikannya. Lidahku terasa keluh. Bagaimana bisa laki-laki itu memilih menikah. Padahal kematian mama belum genap 40 hari. Aku berlari dan meninggalkan pasar. Paman yang melihatku, tak sempat menghentikan aku karena banyaknya pembeli. Hatiku terasa begitu keras, aku berusaha menahan tangisan. Dadaku terasa sangat sesak. Tanpa berpikir panjang aku memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah Tulang, aku langsung berlari ke kamar dan tertidur.

Hujan mulai mengguyur sore. Senja yang tadinya hampir menari segera usai padahal belum memulai. Ribuan rintiknya mengusir kehangatan. Aku terbangun saat menyadari tempias sudah menyapu dinding kamar. Aku pun melempar pandangan keluar jendela. Kacanya membias disapu hujan. Kembali hatiku merasa hancur. Sempat aku berpikir untuk melakukan hal buruk. Hujan sore ini akan menjadi bab terakhir dalam hidupku. Namun, aku tersadar saat melihat foto seorang wanita yang terpajang di dinding. Dia adalah mamaku. Kepergiannya sudah meneduhkan cahaya di dalam hidupku. Setelah kematiannya 2 minggu yang lalu, Aku masih belum bisa berdamai dengan kesedihan. Ribuan kenangan bermain di kepala. Sungguh cintanya tak bisa lagi membelaiku. Kini aku seperti sebatang kara. Laki-laki itu pasti senang atas kepergian mama. Sungguh, aku sangat membencinya.

Langit hampir gelap, dari luar kamar aku mendengar ada yang mengetok pintu. Segera aku menyapu air mata. Awalnya aku berpikir itu adalah Nantulang, rupanya tidak. Aku mematung saat melihat Tulang datang ke kamarku. Langsung saja ia memelukku.

”Aku tahu kau sama seperti mamamu. Yang tidak akan menceritakan apapun masalah yang sedang kalian hadapi. Bahkan saat ia tahu Papamu berselingkuh, ia memilih diam. Belasan tahun lamanya tanpa aku menyadari ternyata adikku tidak bahagia di dalam pernikahannya.”

Aku menangis sambil terisak. Kenyataan itu membuatku membenci laki-laki yang aku sebut Papa. Bahkan setelah seminggu kepergiaan Mama. Aku tak mau tinggal bersamanya dan memilih untuk tinggal di rumah Tulang.

“Aku juga membencinya. Sangat membencinya. Tapi kau tahu apa yang diamanahkan mamamu padaku?” Aku menggeleng. Tulang pun melanjutkan.

“Ia memintaku untuk membuatmu berdamai dengan papamu. Jika tidak, sampai kapanpun ia tidak akan pernah tenang di sana.” Tangisanku semakin keras betapa baiknya wanita itu.

“Ingat ini Tomi. Apapun yang terjadi pada mamamu, itu sudah berlalu. Mamamu sudah mengikhlaskan semuanya. Ada hikmah di sini. Kepergiaan mamamu sudah membawamu melangkah ke rumahku. Aku seperti mendapat seorang putra yang selama ini aku mimpikan. Tapi, ingat ini. Bagaimana pun dia adalah papa kandungmu. Jangan pernah melupakan ikatan darah itu, Tom. Pergilah ke sana. Ikutlah berbahagia bersama papamu. Jika nanti kau tetap merasa asing dengannya. Pulanglah ke sini, Tulang akan tetap menerimamu.”

Azan maghrib berkumandang, aku pun menggelar sajadah. Setelah selesai solat, aku mulai berkemas. Tulang tersenyum. Mungkin sudah saatnya aku harus menjalankan amanah yang dititipkan mama kepada Tulang yaitu berdamai dengan papa. Dan saat ini aku berusaha untuk berlapang dada. Menerima segala sakit, tetap melanjutkan hidup dan tetap bersyukur.

 

Redaktur: Agus Nurbillah


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

“Tentang Jejakmu di Bawah Hujan”

redaksi

Aku (bukan) Calon Pengangguran

redaksi

Kepemilikanku

redaksi