Oleh : Novia Kirana
Suara USU, Medan. “Rasa percaya bahwa meskipun bukanlah hari yang sempurna, hari ini bisa menjadi hari yang cukup dan baik-baik saja. Rasa percaya bahwa hidup adalah ketika meskipun aku merasa dpresi seharian penuh, aku masih bisa tersenyum hanya gara-gara sebuah hal kecil sekali pun.”
Buku berjudul I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki, merupakan sebuah buku Best Seller di Korea Selatan, yang ditulis oleh Baek See Hee, perempuan kelahiran Seoul, Korea Selatan tahun 1990. Buku esai ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya yang mengalami distimia (depresi berkepanjangan) selama kurang lebih 10 Tahun. Buku yang berisi tentang percakapan dirinya dengan seorang psikiater ini, tersaji apa adanya tentang sebuah pola yang bernaung di pikiran orang yang sedang mengalami depresi.
Dalam awal buku ini, tersaji kata pengantar oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, seorang dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Siloam, Bogor, Indonesia. Ia mendefinisikan tentang Pola pikir unik dan kepribadian seseorang yang sedang mengalami distimia. Distimia adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi. Seseorang dapat kehilangan ketertarikan yang normal pada aktivitas sehari-hari, merasa tidak ada harapan, produktivitas berkurang, harga diri yang rendah dan perasaan tidak layak.
Untuk pola pikir orang yang sedang mengalami distimia, dr. Jiemi dalam kata pengantarnya, menyebutkan beberapa pola pikir, diantaranya
- Black and White Thinking, Pada keadaan ini seseorang cenderung untuk melihat segala sesuatu sebagai 100persen hitam dan putih, tidak ada warna lain.
- Overgeneralization, seseorang bisa sangat mudah menggeneralisasi keadaan. Satu kejadian buruk dapat dianggap mewakili keseluruhan hidup
- Personalization, seseorang yang berpikir bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kesalahannya
- Fortune Telling, seseorang cenderung membayangkan masa depan, tapi dalam bayangan yang buruk
- Mind Reading, dalam cara berpikir ini kita seakan bisa membayangkan isi pikiran orang lain
- Emotional reasoning, seseorang senderung menggunakan emosinya sebagai landasan berfikir
- Disqualifying the Positive, segala peristiwa yang masuk kita persepsikan dengan sudut pandang yang negative
- Ambivalensi, memungkinkan jika ada pikiran yang saling berkontradiksi yang keduanya sama-sama dirasakan.
Pada bab pertama buku ini, ia menulis “mendengar suara-suara halusinasi, melihat hal-hal khayalan, dan melukai diri sendiri bukanlah sebuah penyakit. Seperti sebuah flu ringan yang membuat tubuh kita sakit, rasa depresi yang ringan pun membuat mental kita sakit.”
Baek See Hee di minggu pertama nya menemui psikiater, membuka obrolan dengan mengatakan, ia sangat sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, berakibat ia sering sekali memperlakukan dirinya sendiri dengan buruk dan merasa kepercayaan di dirinya sangatlah rendah. Menjawab pertanyaan yang terus melekat pada diri Baek See Hee, psikiater tersebut mengatakan
“Katanya kedua kutub yang berbeda malah saling bereaksi satu sama lain. Orang yang terlihat seperti rasa percaya dirinya tinggi sekali ternyata rasa percaya dirinya rendah. Mereka melakukan hal yang menonjol di depan umum karena mereka tidak memiliki rasa percaya diri.”
Untuk pertemuan selanjutnya dengan psikiater, ia mengatakan “Saya suka menghabiskan waktu sendirian. Tapi, ada syaratnya. Harus ada orang yang mencintai saya.”
“Jika anda membuat diri anda merasa cemas untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, suatu saat tentu anda bisa mendapatkan perhatian yang anda inginkan tersebut. Setelah itu, ketika anda sudah merasa nyaman, orang lain juga akan merasa tenang, kan? Tapi, kalau begitu nantinya bisa saja anda kembali merasakan keputusasaan,” terang psikiater.
Baek See Hee yang terus rutin menemui pisikiater nya, sudah merasa bahwa ia mulai bergantung pada psikiater tersebut. Karena menurut dirinya psikiater yang terus dijumpainya itu adalah sebuah garis yang permanen, karena psikiater adalah ahli dibidang itu serta memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah dan kekhawatiran yang terus berada di dalam dirinya.
“Dengan siapa pun anda menjalin hubungan, baik pertemanan maupun hubungan cinta, tidak ada yang namanya garis permanen. Saya harap anda bisa membedakan bagian-bagian kecil dari keseluruhan yang besar,” pinta Psikiater tersebut
Dalam bagian penutup buku ini, ia menulis “Tidak apa, orang yang tidak memiliki bayangan tidak bisa memahami cahaya.” Baek See Hee memang merasa yang salah adalah sebuah kepercayan dirinya yang rendah. Ia ingin selalu memuaskan mata orang-orang yang memandang dan berharap pada dirinya tanpa tau semua manusia punya keterbatasan.
“Rasa percaya diri. Masa bodoh dengan rasa percaya diri. Kini aku tidak ingin melibatkan diri dalam hubungan yang tidak baik.”
“Aku hanya ingin mencintai dan dicintai”
“Rasa depresiku semakin membaik, rasa cemas dan khawatir pada orang lain pun semakin berkurang”
“Jika aku tidak menyerah, aku pun bisa terus melanjutkan hidupku sambil tertawa maupun menangis”
“Aku ingin mengalami kegagalan kemudian mengarahkan kembali pandanganku ke jalan yang lebih baik.”
Buku ini dikemas secara unik, di setiap bab-bab yang disajikan hanya berisi percakapan-percakapan penulis dengan psikiater yang ia temui. Nuansa warna merah muda, hitam dan putih dalam buku ini membuat pembaca lebih rileks untuk memahami apa maksud hal-hal yang coba ia sampaikan. Buku yang mengajarkan bahwa tak ada yang lebih penting dari mencintai diri sendiri, tidak perlu terus memenuhi ekspetasi orang-orang sekitar, dan tetap mencoba hal baru digaris positif adalah pesan utama yang disampaikan oleh Baek See Hee melalui buku ini kepada para pembaca.
Sayangnya, dalam buku ini banyak istilah medis yang tidak dirincikan secara jelas, yang membuat para pembaca perlu mencari apa arti dari istilah medis yang dimaksud, agar terus bisa mengikuti alur percakapan penulis dengan psikiaternya.
Redaktur: Yessica Irene
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.