SUARA USU
Featured

Intoleransi di Sekolah, Bibit Radikalisme Sudah Terjadi Sejak Dini?

Tim Penulis: – M. Farhan Ali Harahap
– Thania Mardhatillah
– Khairin Daffa Dalimunthe
– Sara Klaudya Laiya
– Rizki Wahyudi

Suara USU, Medan. Indonesia yang memiliki berbagai keragaman agama, suku, bahasa, serta budaya sejak dahulu, tidak serta merta membuat seluruh masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang memiliki rasa toleransi yang tinggi. Justru karena semakin banyaknya keragaman yang ada malah membuat masyarakat Indonesia memiliki rasa intoleransi yang lebih tinggi daripada rasa toleransi. Hal ini dibuktikan oleh hasil survei dari Wahid Intitute yang menunjukkan angka 54% sikap intoleransi di Indonesia.

Menurut Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya sikap intoleransi, yaitu :
a. Berkembangnya paham keagamaan yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.
b. Dampak dari desentralisasi
c. Terjadi karena adanya kepentingan politik yang dikemas dengan nuansa keagamaan.
Dari sisi manapun sikap intoleransi bukanlah sikap yang baik karena mengancam kedaulatan dan keutuhan negara Indonesia serta bisa menjadi bibit dari radikalisme. Sikap intoleransi juga merupakan pelanggaran HAM, seperti melarang aktivitas keagaaman minoritas, merusak rumah ibadah, diskriminasi, serta adanya pemaksaan keyakinan.

Indonesia yang indah dengan masyarakat multikultural, bukan berarti bebas dari kasus intoleransi. Dalam 5 tahun terakhir ada banyak kasus intoleransi yang berada di sekolah. Padahal sekolah merupakan media untuk mengajarkan dan membentuk karakter kebhinnekaan, toleransi, dan kebebasan berekspresi terkait agama dan kepercayaan diri kepada para penerus bangsa. Namun, hal tersebut justru tidak diterapkan oleh beberapa sekolah di daerah Indonesia.

Seperti salah satu kasus di Bali pada tahun 2014, yang dimuat pada halaman Merdeka.com dengan judul “Siswi SMAN 2 Denpasar Dipaksa Lepas Jilbab atau Pindah Sekolah”.

Pada halaman tersebut dimuat bahwa siswi berinisial AW, dilarang mengenakan jilbab saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun, siswi tersebut menolak larangan tersebut, sehingga pihak sekolah memberikan pilihan untuk melepas jilbab atau pindah sekolah.

Contoh kasus lainnya yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang pada Januari 2021 lalu. Dimana terdapat peraturan wajib jilbab bagi siswi non-Muslim. Kasus ini kami kutip dari halaman BBC News Indonesia, dengan judul “Wajib Jilbab bagi Siswi Non-Muslim di Padang : ‘Sekolah Negeri Cenderung Gagal Terapkan Kebhinekaan’”.

Diketahui bahwa kewajiban mengenakan jilbab di SMK Negeri 2 Padang sudah ada sejak Wali Kota Padang Fauzi Bahar menjabat pada tahun 2005 yang setiap tahun diperbaharui.
Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Padang mengatakan bahwa ia baru mengetahui masalah siswinya yang tidak ingin mengenakan jilbab setelah wali kelas siswinya melaporkan kejadian ini. Beliau berpesan bahwa untuk tidak memaksa siswi tersebut mengenakan hijab.

Jumlah murid non-Islam di SMK Negeri 2 Padang ada lebih dari 40 orang. Dimana mayoritasnya menggunakan jilbab dengan sukarela demi menyesuaikan diri dengan murid lainnya serta mengikuti tradisi Kota Padang.

Dari kedua kasus tersebut dapat kita lihat bahwa masih banyak daerah yang menerapkan praktik intoleransi, dengan rata-rata dari kasus tersebut disebabkan oleh peraturan daerah atau sekolah yang berlaku, maupun dengan adanya paham mayoritarianisme.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sempat mengeluarkan SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah dengan tujuan mencegah terjadinya kembali intoleransi di sekolah. Namun, susunan SKB 3 Menteri tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.

Related posts

52 PMI di Hong Kong terdaftar mahasiswa baru Universitas Terbuka

redaksi

Mahasiswa FISIP USU, Lakukan Pengamatan Terhadap Strategi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

redaksi

Tim Desa Binaan FHut USU Lakukan Pemeliharaan Rusa dan Pengembangan Desa Wisata

redaksi