Penulis : Resti Lumban Gaol, Mhd Alvi Syahputra, Yessica Irene
Suara USU, MEDAN. Kompetisi palsu dengan label internasional kian banyak merebak di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Alhasil, hanya euphoria semu yang tercipta dari rentetan kompetisinya. Kompetisi predator ini sangatlah tak sehat, mengingat tak kredibelnya lembaga penyelenggara. Selain itu, biaya pendaftaran yang mahal serta banyaknya juara-juara semu yang dihasilkan membuat kompetisi ini menjadi ajang komersialisasi, bukan lagi sebuah inovasi.
Namun, di USU sendiri masih banyak mahasiswa dan dosen justru terjebak di euphoria semu ini. Prodi dan mahasiswa saling berlomba-lomba untuk ikut dan terjum ke salah satu kubangan kotor di dunia pendidikan. Prodi dengan bangga mempublikasi, dan mahasiswa dengan bangga menjadikan kompetisi ini ajang pembanggaan dan pembuktian diri. Padahal, kompetisi semu ini semuanya palsu.
Imam Bagus, Staff Ahli Bidang Kemahasiswaan pun turut menyoroti hal ini. Ia mengatakan pelan-pelan USU akan menghapuskan dan melawan kompetisi palsu bertajuk internasional ini, khususnya di Malam Penganugerahan.
“Untuk tahun ini memang masih ada, masih dihargai di Malam Penganugerahan. Tapi nominalnya udah ga sama kaya dulu. Dulu kan juara I internasional langsung tujuh juta lima ratus, nah pelan-pelan kita rubah. Kita kali kan dengan berapa banyak yang ikut di kompetisi dan berapa Negara yang berpartisipasi. Tahun ini masih seperti itu, InsyaAllah tahun depan kita mulai kita hapuskan,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Farmasi ini menilai, bahwa dengan diterapkannya penghapusan kompetisi semu di tahun depan, akan lebih dipahami dan diterima di kalangan mahasiswa.
“Kita ga bisa hapus langsung di tahun ini, saya rasa penerapannya di tahun depan jadi akan lebih smooth dan diterima mahasiswa,” paparnya.
Imam juga mengatakan kedepan USU dan bidang kemahasiswaan akan berupaya untuk fokus ke kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa).
“Jadi di Ditjen Belmawa ada sekitar 36 kompetisi dan kegiatan yang diselenggarakan mereka. Nah harapannya, mahasiswa bisa fokus kesana. Karena akan masuk otomatis ke SIMKATMAWA,” lanjutnya.
Senada dengan Imam Bagus, Wakil Dekan II FEB USU Doli Dalimunthe juga menekankan bahwa pentingnya mengikuti kompetisi yang kredibel dan berjenjang.
“Saya juga punya pemikiran yang sama dengan Mas Bagus tentang prestasi, kami punya path yang sama. Ketika kemarin juga menjabat menjadi Staf Ahli saya juga menekankan itu ke para Koordinator UKM untuk menekankan kompetisi yang kredibel. Ajak mahasiswa dan UKM-UKM ke kompetisi yang berjenjang yang dan jelas. Kita berharap kedepan akan banyak mahasiswa kita yang tembus ke PIMNAS, POMNAS (Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional), kalo bisa pun sampai kitaa ke tingkat Universiade (Kompetisi Olahraga Mahasiswa Tingkat Internasional),” ucapnya.
Doli juga menerangkan bahwa semua pihak harus siap dengan perubahan yang kedepan akan tercipta dengan langkah USU melawan kompetisi semu ini. Konsep tripartite antara universitas-dosen-mahasiswa harus bisa saling bekerja sama untuk mewujudkan iklim kompetisi dan pendidikan yang lebih baik.
“Sikap universitas melawan kompetisi yang sama sama kita sepakati sebagai kompetisi abal-abal ini pastinya akan menimbulkan banyak respons negative. Seperti dibilang nanti universitas ini sekarang pelit lah segala macem. Tapi pada akhirnya, kita kan ini dalam konsep tripartite ya perubahan harus diterima dan dilakukan oleh universitas, dosen, dan mahasiswa,” tuturnya.
Eks Sekretaris Program Studi Manajemen ini juga menjelaskan bahwa koordinasinya kedepan dengan BKK dan universitas akan membuat Pusat Prestasi di tiap fakultas seperti yang tengah dilakukan dan diterapkan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
“Jadi kedepan, pendataan dan juga filterisasi akan kita lakukan di Universitas lewat Pusat Prestasi yang tahun depan juga kita mulai seperti yang di FEB, jadi bukan ke BKK lagi,” papar Doli.
Doli dan Imam Bagus sama-sama sepakat bahwa USU harus siap jika 1 tahun kedepan akan mulai kekeringan prestasi dan menutup telinga rapat-rapat. Namun hal ini harus ditempuh agar menghasilkan iklim pendidikan yang lebih baik kedepannya.
“Hasil dari semua proses ini mungkin baru terlihat di 2023. Kita berharap USU bisa lebih banyak beprestasi di event-event yang berpengaruh di SIMKATMAWA. Kita harus siap-siap menutup telinga rapat-rapat jika tahun depan mungkin USU akan mulai kekeringan kabar prestasi, karena memang sekarang yang banyak prestasinya itu dari kompetisi semacam itu. Yang bayarnya ratusan dollar peraih emasnya sekian, peraih peraknya sekian, belum lagi kalo pesertanya banyak ada juara favorit, best speaker dan sebagainya,” pungkas keduanya.
Kami juga melakukan investigasi perihal lomba ini kepada mahasiswa yang pernah beberapa kali mengikuti dan memenangkan kompetisi abal-abal ini.
“Menurutku ya untuk harga pendaftaran atau registrasi nya sangat mahal, hadiah yang didapatkan pun tidak seberapa, sekedar medali dan sertifikat (tidak ada uang tunai), untuk medali yg didapatkan pun hanya 1 per tim, jika ingin menggandakannya harus mengeluarkan uang lagi,” sesalnya
Ia juga mengaku kaget ketika dalam temuannya, di satu kompetisi ada begitu banyak juara. Seakan-akan kompetisi ini semu, dan semua peserta memang dijadikan pemenang di setiap gelarannya.
Sebelumnya saya pernah mengikuti salah satu lomba internasional itu, membayar dengan harga mahal, dan saya baru tersadar ketika pengumuman pemenang, saya kaget kenapa banyak sekali yang mendapatkan gold, silver, dan bronze medal. Dan tim saya mendapatkan gold medal di perlombaan itu,” tambahnya.
Selain itu kami juga melakukan investigasi dan wawancara kepada beberapa mahasiswa berprestasi yang sedikit banyaknya mengetahui dan memiliki pandangan tentang lomba ini. Menurut pandangan mereka, kompetisi seperti hanya mewadahi mahasiswa untuk berbohong.
“Sebenernya itu (instansi penyelenggara) oke oke saja. Hanya saja mereka mewadahi mahasiswa untuk berbohong. Hanya dengan bayar mahal, mereka bisa ikut kompetisi plus jadi juara,” ungkapnya.
Menurutnya, kompetisi abal-abal dan predator ini bisa diberhanguskan. Ia juga menekankan sebagai mahasiswa, kita semua memiliki kewajiban untuk mencerdaskan publik. Mahasiswa tak boleh bertindak diam.
“Kita bisa menghanguskan predator lomba yang tidak kredibel itu. Kita juga harus mencerdaskan publik. Kita harus adil, menghargai orang sesuai usaha. Jangan yang ikut kompetisi semu, yang tidak jelas, hanya karna berlabel internasional diundang malam penganugerahan. Sedangkan yang ikut lomba Kemendikbud, yang perjuangannya sampai berdarah darah(sangat susah) tidak dihargai, usu juga harus berani memberantas lomba-lomba seperti ini jangan hanya diam,” sambungnya.
Ia juga menambahkan bahwa mahasiswa idealnya mengiktui lomba resmi dari Kemendikbud dan PUSPRESNAS, yang memiliki jenjang dan kredibilitas yang jelas.
“Mahasiswa juga jangan gampang tergiur dengan lomba berlabel internasional, lebih baik mengikuti lomba resmi dari kemendikbud maupun PUSPRESNAS, yang berjenjang dari awal sampai atas ketimbang lomba seperti ini, bayar pendaftaran mahal, tiba2 juara dapet gold, eh rupanya ada 5 gold medalistnya, sama saja bohong,” tuturnya.
Terakhir, para narasumber berharap lomba dan kompetisi abal-abal ini bisa dibumihanguskan dan juga kualitas kompetisi bagi remaja dan mahasiswa dapat lebih ditingkatkan.
“Mudah mudahan lomba seperti ini diberantas dari negara Indonesia. Karna kalo dibiarkan terus, bagaimana kualitas prestasi remaja Indonesia bisa lebih baik. Dan kalau boleh prestasi yang diapresiasi itu adalah prestasi dari usaha yang “lebih”. Jangan seperti lomba ini, hanya memasukkan esai atau presentasi gitu doang, udah dapat medali. Jadinya kan menurun kualitas prestasi mahasiswa Indonesia,” pungkasnya.
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.