SUARA USU
Sastra

Maaf Atas Laparmu

Penulis : Suci Rahmatia Silaban

Suara USU, Medan. Suara tak asing itu terus berusaha membangunkan saat raganya masih belum bersemangat untuk beranjak. Menandakan pengalaman yang butuh kehadiran sebagai. Kelopak mata saja masih enggan untuk terbuka namun memaksanya untuk segera melangkahkan kaki demi mengisi kekosonngan serta menghentikan suara tadi.

Duh , masih ngantuk banget padahal,” ucapnya sambil mengelus perut.

Jarum jam kala itu masih membusur 240°. Cukup pagi untuk seorang gadis manja bangun di hari weekend . Ia berjalan ke arah dapur untuk mencari sarapan. Zifa Sander, biasa dipanggil Ifa. Anak bungsu dari dua bersaudara yang hidup berkecukupan di rumah yang sederhana namun soal harta tak usah ditanya. Sifatnya sedikit bertolak belakang dengan Rafiq Sander, si sulung yang dipanggilnya dengan sebutan abang.

saya tak menemui sarapan lezat pagi ini padahal perut laparnya sudah menanti. Yang ia temukan hanya dua piring rendang sisa kemarin. Lemari pendingin yang buka juga tidak menyajikan apapun sebab mama nya belum belanja bulanan dan pagi-pagi sekali papa dan mamanya harus pergi kerumah kerabat mereka.

“Bang, pesan udang asam manis kuy !” ajaknya.

Gue barusan sarapan pake itu, masih enak kok, hemat dikit napa sih lu !”

“Bukannya pengen boros nih , cuma kan gue bosen bang.”

“Bosan.. bosen.. bersyukur tau masih bisa makan!” sambil menutup pintu kamarnya.

Tawarannya ditolak mentah-mentah memang, namun ia tetap memesan lewat online untuk dimakan sendiri. Cukup menyesal dan kesal karna akhirnya malah di ceramahi tentang ‘hemat’. Tak lama setelah pesanan itu sampai, ia pun langsung menyambut dengan sangat bersemangat. Namun ia sedikit terganggu di sela-sela lahapannya.

“Dih,,, bocah mana nih. Ngapain coba disini,” celetuk Ifa dalam hati.

“Eh dek ngapain? Sana gih kalo mau main! Jangan disini!” usirnya.

Kehadiran lelaki lelaki berpakaian lusuh dan beraroma kurang sedap sungguh mengurangi selera makannya. Bocah ini sepertinya ingin berbicara namun tak bisa. Ia mencoba dengan susah payah namun tetap kesulitan utuk mengeluarkan kata-kata. Jika tidak mengerti dengan artikulasinya dan akhirnnya bocah tadi hanya cengegesan berharap gigi geripis nya. Ifa yang tak terlalu peduli, kembali masuk ke ruang tamu dan menutup pintu. Duduk di atas sofa empuknya, sambil menyantap udang asam manisnya.

“Haaaahh..!!!” Teriakannya dengan mata terbelalak.

Tiba-tiba saja ada yang mengintipnya dari balik jendela. Kuatnya teriakan Ifa membuat Rafiq yang sedang santai mengetik tugas kuliah di laptopnya menjadi salah ketik sebab terkejut hingga keluar mencari Ifa.

“Kenapa Fa?” tanya Rafiq yang khawatir kepada adik perempuannya.

“Ada yang liatin gue dari jendela bang.”

Menjaga adiknya tetap aman sudah menjadi pernikahan sejak ia dilahirkkan sebagai seorang kakak laki-laki di keluarga itu. Rafiq pun langsung memeriksa jendela dari segala sisi dan mencari orang yang berani menanggung risiko adiknya secara diam-diam tersebut. Namun ia tak menemukan siapapun disana.

“Udah gue usir bang. Gak papa bang,” ucapnya sambil menghela nafas.

“Siapa emang?” tanyanya.

“Bocal gembel bang. Udah gue lempar kok

“Terus lo gak papa nih ?” tanyanya khawatir

aku baik-baik saja!. Maaf udah kaget,”

Sebelum Rafiq datang, ternyata Ifa sudah melempari anak itu dengan cangkir hingga sandal di depan rumah. Lemparannya dengan cangkir terlihat meleset. Namun sandal itu tepat mengenai sasaran, ya kepala pelontos si bocah hingga ia menutupinya dengan tangan sembari lari sekencang kuda. Setelah Rafiq memastikan bahwa adiknya baik-baik saja, ia langsung kembali melanjukkan tugas kuliah yang masih menggunung di kamarnya.

***

Jam sampai di titik dimana bayangan benar-benar berada di bawah kita. Bisa dibayangkan bukan?. Teriknya sang mentari menyapa penduduk bumi waktu ini. Rasa ingin menyelesaikan dahaganya, membuat Ifa mencari buah kesukaannya untuk dibuat jus yang menyegarkan. Seperti biasa, ia pasti menduakan porsinya. Setelah mengetuk pintu, ia langsung meletakkannya di meja belajar. Ya, segelas jus alpukat untuknya, segelas lagi untuk kakak laki-lakinya.

“Widiihh.. Terima kasih sist! ucap Rafiq denan senyum manisnya.

Tanpa menjawab, Ifa langsung keluar kamar. Ia kembali mengarah dapur untuk mengambil makan siang. Sebenarnya ia ingin memesan makanan lain. Namun setelah dipikir-pikir, kutipan Rafiq tadi pagi ada benarnya. Beralih ke sofa tidak seharusnya pagi tadi makan, sebenarnya rasanya kurang selera dengan rendang sisa semalam. Namun bagi orang lain yang tak seberuntungnya, menonton rendang masih menjadi makanan terlezat yang sayang untuk dilewatkan meski itu sisa kemarin malam?.

“Haahhh…!!!” teriak Ifa, lagi.

Mendengar jeritan itu, Rafiq terkejut dan terkejut kembali . Melihat adiknya menunjuk ke arah jendela tadi pagi, Rafiq pun langsung memeriksa jendela itu Namun ia tak menemukan apapun dan siapa pun.

Lo liat apa sih Fa?. halo ya?” tanyanya sedikit kesal.

“Bocah gembel tadi pagi.” sambil menunjuk ke jendela.

Lo tuh bocah gembel. Makan rendang belepotan!”

“Ih.. apaan sih ” malah malu sembari mengelap area mulut dengan tangan.

Sedikit kesal memang, ia berpikir adiknya telah digunakan dengan menipunya. Namun Rafiq sungguh seorang kakak laki-laki sejati. paling tidak ia memastikan kembali kalau adiknya baik-baik saja. Bagaimana dengan Ifa?. Ia terduduk di sofa, ide mengapa anak laki-laki yang ia sebut bocah gembel tadi menyatukannya sampai-sampai melihatnya memasukkan suap demi suap nasi ke mulutnya. Apakah si anak tadi berniat untuk mencuri, atau apa?

***

Setelah bosan seharian terkurung di kamar dan bergelut dengan tugas-tugas, malam hari Rafiq mengajak adiknya keluar melepas penat dan mencari udara segar.

“Fa, kuy cari angin!” ajaknya.

Kuy lah!” sama penuh semangat.

Di perjalanan pulang, mereka harus sabar karena didepan mereka terdapat kemacetan yang lumayan panjang. Mereka tak tahu penyebab macet tersebut namun Ifa sempat berpikir bahwa itu mungkin penyebab dari sebuah kecelakaan seperti biasa.

“Di depan kayak ada polisi deh bang. Kecelakaan kali ya?”

“Huussst …!. Berpikir positif sedikit kek !”

Karna bosan menunggu, Ifa menyetel musik dengan lagu-lagu K-pop kesukaannya sambil bernyanyi. Sembari menyetir mobil perlahan, Rafiq juga ikut bernanyi dengan suara yang pelan. Namun tiba-tiba mata Ifa sangat terkejut dengan mata terbelalak, dan tangan menutup mulut yang ternganga lebar.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.” ucap Rafiq

Mereka menoleh ke arah sebelah kiri dimana terdapat sesosok jenazah bocah laki-laki yang berbaring di atas aspal. Masih dengan pakaian yang sama. Baju kaos bergambar kartun khas anak dengan karakter spongebob . Celana pendek selutut berwarna abu-abu yang sudah mulai robek di bagian bawahnya. Hingga mainan mobil-mobilan jenis truk pengangkut tanah yang mengikat tali rafia di bagian bumpernya . Persis seperti yang di tariknya pagi tadi.

“Bocah itu bang!. Yang fotonya ngaggetin.”

“Apa? Gak denger.”

“Minggir dulu deh . Kita berhenti dulu, please !”

Setelah di pinggirkan, Ifa langsung terjongkok berkeringat dingin di mobil, menutup wajah dengan kedua di samping. Rafiq langsung menghampiri adiknya karna khawatir melihat Ifa syok tiba-tiba. Ifa menceritakan kepada Rafiq bahwa ia ingat betul jenazah yang ia lihat tadi adalah bocah yang sedari pagi mengagetkan dan membuat kesal.

Di samping mereka terdapat wanita parubaya yang menangis histeris dengan seorang lelaki sebayanya yang terlihat seperti suaminya. Lelaki tersebut memeluk erat dengan mengelus kepala wanita tadi. Wanita itu begitu sedih sehingga kakak adik itu mengira bahwa mereka adalah orangtua dari si bocah laki-laki tadi.

“Maaf Pak, Bu, apakah korban kecelakaan itu Bapak dan Ibu?” tanya Rafiq.

“Bukan nak.” jawab si lelaki.

“Tapi ibu baru aja pengen dia jadi anak ibu.” putra yang terus berderai air mata.

Ifa menoleh ke arah abangnya dan saling bertatapan. Mereka bingunga atas jawaban sang wanita ini. Namun sang wanita tadi langsung melanjutkan ucapannya. Ia berkata bahwa baru saja bocah laki-laki itu mendatangi rumahnya. Ternyata kelakuannnya sama seperti di rumah Ifa. Mengintip-intip rumah mereka. Namun bukan membentak kasar seperti Ifa, sang wanita menghampiri dan bertanya dengan lembut kepada sang bocah mengapa begitu begitu.

Dengan wajah yang sangat bersemangat, bocah itu berusaha keras untuk mengeluarkan suara yang jelas dari sambil memegangi perutnya. Seakan ia ingin sekali berkata bahwa ia sedang sangat kecewa. Sang wanita tadi sangat suka kepada bocah itu.

Lantas sang wanita itu menyuruh si bocah tadi untuk menunggu di ruang tamu karna ia ingin mengambilkan makanan untuknya. Kembali dari dapur, sang wanita melihat bahwa bocah tadi sudah entah kemana. Ia meminta suaminya untuk membantunya mencari bocah tadi.

Tak lama setelah itu, mereka mendengar suara rem mobil yang amat membuat ngilu pendengarnya. Karna kebetulan rumah sang wanita tadi berada di pinggir jalan, maka mereka langsung melihat keluar. Ternyata, bocah yang mereka cari tadi sudah bersimbah darah di depan sebuah mobil.

Ia tak sanggup menceritakan kejadian tadi. Bercerita sambil terus menangiis hingga terduduk lemas. Ia merasa sangat menyesal karena merasa terlambat makan bocah laki-laki itu. Padahal ia baru berpikir dan berniat untuk mengadopsi anak itu.

“Saya belum sempat kasih dia makan, dia pasti sangat lapar.” katanya dengan banjir air mata.

Mendengar hal itu, Zuna terbangkit dari posisi jongkoknya, memeluk erat kakak laki-lakinya. Ifa tak kuasa menahan tangis. Hatinya seolah di cambuk berulang kali. Ia menyesali perbuatan buruknya kepada bocah itu. Memperlakukan buruk seorang anak tunawicara yang tidak ada, masih berlangsung disebut sebagai manusia?.

“Bang… Gue masih manusia kan?” tanya nya penuh sesak.

Jikaa terus menangis dan menyesal tiada henti. Ia terus memohon maaf kepada bocah itu di dalam hati. Andai saja ia berperilaku baik seperti yang wanita tadi lakukan, bocah tadi masih ada dan merasa kenyang.

Mata Rafiq amat berkaca-kaca dan tak dapat dibohongi kalau sebenarnya ia pribadi juga merasa sangat sangat berharga. Namun ia ingin membuat adiknya semakin sedih. Ia memang membenarkan perbuatan adiknya, namun ia mencoba menguatkan adiknya yang di hantui rasa bersalah yang amat dalam.

Redaktur : Yessica Irene Sembiring

Related posts

Berawal dari Sebuah Impian

redaksi

Tawar Hati

redaksi

Bimbang yang Fana

redaksi