SUARA USU
Featured

   Membangun Toleransi di Lingkungan Mayoritas dan Minoritas

Dosen Pengampu : Onan Marakali  Siregar. S.Sos., M.Si

Pendidikan Kewarganegaraan  – Kelas 14 

Kelompok 13 PKN 

Universitas Sumatera Indonesia

Tim penulis : 

  1. Pangondian Abdullah (210404067)
    2. Najlaa (210501046)
    3. Ezra Gratya Siregar (210503062)
    4. Muhammad Yusrin Firdaus (210708095)
    5. Jauza Hayah Anbari (211402024)

Bangsa Indonesia   dikenal   sebagai   bangsa   yang   majemuk,   ditandai   dengan banyaknya  etnis, suku,  agama,  bahasa,  budaya,  dan  adat-istiadat.  Untuk  persoalan agama, Indonesia bukanlah sebuah   negara teokrasi, melainkan secara konstitusional  negara  mewajibkan  warganya  untuk memeluk  satu  dari  agama-agama yang  diakui eksistensinya sebagaimana tercantum dalam  pasal  29  ayat (1) dan (2) UUD 1945. Negara memberi kebebasan kepada penduduk untuk memilih salah satu agama yang telah ada di Indonesia dari keenam agama, yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk, perbedaan seperti suku, agama, ras atau antar  golongan, merupakan realita yang harus didayagunakan untuk memajukan bangsa dan negara. Hal tersebut bertujuan menuju sebuah cita-cita yang, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketuhanan adalah salah satu faktor penting dalam kehidupan kita, dengan kita menjadikan Tuhan berperan dalam seluruh area hidup kita, berarti kita harus taat pada apa yang mau Tuhan lakukan di hidup kita. Dengan mempererat hubungan dengan Tuhan, kita dapat mempererat hubungan antar agama dan menciptakan toleransi. Mempererat hubungan antar agama menciptakan perdamaian pada agama, tidak adanya perpecahan, tidak adanya penisataan agama. Mempererat hubungan antar agama memang tidak mudah. Mempererat hubungan antar agama berarti menyatukan seluruh orang tanpa melihat latar belakang agamanya juga menerima segala perbedaan yang ada antara satu sama lain.  Contohnya yaitu kasus di Kota Cikarang beberapa bulan lalu tepatnya pada April 2020, ketika pandemi mulai marak di Indonesia.

 

Sebuah video yang memperlihatkan sebuah keluarga diprotes warga lantaran melakukan ibadah secara darin, menjadi viral di media sosial. Dalam rekaman yang diunggah, terlihat ada dua orang pria mendatangi rumah warga. Salah satu pria masuk ke dalam rumah dan terlihat mengeluarkan amarahnya. Akun tersebut mengaku bahwa peristiwa itu dialami oleh keluarga sepupunya, yang tiba-tiba saja ada oknum yang melarang sepupunya untuk melaksanakan ibadah. Menurut sang pemilik akun, pelarangan ibadah ini dilakukan oleh tetangga dan Ketua RT di lingkungan rumah sepupunya yang ada di Rawa Sentul, Cikarang Pusat. Saat mengadakan ibadah online di rumah, dan yang pasti hanya terdiri dari keluarga inti, tiba-tiba seorang warga dan Ketua RT datang dengan marah-marah membubarkan.

Kegiatan ibadah yang dilakukan tersebut di videokan dan menjadi viral di media sosial. Setelah menerobos masuk ke rumah dan marah-marah, oknum tersebut pun pergi. Namun, ternyata hal ini bukanlah pertama kali terjadi. Sekitar 12 tahun yang lalu, warga sekitar mendemo dan meneror rumah tersebut saat ibadah syukuran rumah. Ada salah satu warga net beranggapan, “Agama itu kan ada 5 harusnya kita saling menghargai kenapa malah begitu sbg ketua RT. Mereka juga ibadah dari rumah karena anjuran pemerintah begitupun dengan agama, kita lagi wabah begini harusnya saling mendoakan biar wabah nya segera hilang bukan malah melarang ibadah”. Sementara itu, sebagai upaya menekan penyebaran pandemi virus corona, para pemuka agama menegaskan kepada masing-masing umat beragama di Indonesia untuk beribadah di rumah masing-masing. Masyarakat juga diimbau agar semakin meningkatkan ibadah lebih dari hari biasanya. Seruan itu datang dari pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dalam konferensi pers di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang disiarkan secara langsung Sabtu (28/03/20) silam.

Dari kasus tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat toleransi di Indonesia masih sangat minim khususnya pada kaum minoritas yang sering kali terdiskriminasi dan tertindas. Padahal beribadah adalah hak setiap warga dan dalam kasus tersebut korban tidak menyalahi aturan PSBB yang melarang beribadah di tempat ibadah karena nyatanya ibadah dilakukan di dalam rumah. Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan merusak kedamaian dan tatanan tertib sosial yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya kerja sama dari pemerintah pusat hingga tingkat rukun tetangga, untuk menjaga keamanan dan memfasilitasi masyarakat dalam beribadah.Setiap manusia memiliki haknya sendiri dalam menjalani kehidupan ini. Walaupun memang terdapat minoritas dalam suatu kalangan, alangkah baiknya apabila kita semua yang hidup berdampingan memiliki rasa toleransi yang cukup. Karena tanpa adanya rasa toleransi sesama manusia, maka akan sulit menciptakan kedamaian di dunia ini. Maka dari itu, mari kita bersama sama menciptakan rasa toleransi agar kita semua dapat menjalani hidup yang bahagia dan damai dengan sesama walaupun terdapat perbedaan.

Redaktur : Fitri Dian Jannah


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Memendam Emosi dianggap Menimbun Utang?

redaksi

Bijak Memilih: Membimbing Pemilih Muda Menuju Pemilu 2024

redaksi

Pink Tax, Biaya Tersembunyi Bias Gender

redaksi