Penulis: Yulia Putri Hadi
Buruh, tani, rakyat miskin kota!
Orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah disebut buruh dalam KBBI. Namun, menurut saya lebih jauh dari itu, buruh adalah pahlawan. Lebih tepatnya adalah pahlawan perekonomian bangsa. Jika buruh sejahtera, maka negara sejahtera. Buruh adalah penggerak industri, industri akan lumpuh tanpa adanya buruh. Maka, pada May Day hari ini, izinkan saya untuk mengenang nasib duka para pahlawan ekonomi selama setahun dilanda pandemi.
Sejak awal pandemi, KADIN Indonesia mencatat hingga awal Oktober 2020 sudah lebih dari 6,4 juta pekerja di PHK. Tak berhenti di situ, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memprediksi isu PHK masih akan menjadi masalah utama untuk kalangan buruh pada 2021. Mereka memperkirakan akan ada jutaan buruh lainnya yang terancam PHK gelombang kedua.
Memang, pandemi Covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana alam dapat dijadikan alasan force majeure (keadaan yang memaksa) untuk melakukan PHK, sebagai jalan terakhir ketika pelaku usaha tidak mampu membayar pekerjanya. Tetapi, tidak sedikit pula perusahaan nakal yang menjadikan pandemi sebagai dalih untuk mengurangi pekerjanya yang sebenarnya bukan karena kerugian, tetapi untuk mengganti pekerja lamanya dengan yang baru. Mereka melakukan itu untuk menghindari kewajiban dari hak-hak normatif pekerja lama. Kalaupun harus terjadi PHK dengan alasan pandemi, perusahaan seharusnya membayar hak-hak normatif pekerjanya.
Sementara para buruh di PHK, pemerintah sempat merencanakan hal yang mengiris hati rakyat yang sedang berjuang melawan pandemi. Sementara para buruh banyak kehilangan mata pencaharian, pemerintah malah hendak mendatangkan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China ke Sulawesi Utara di saat pembatasan sosial diterapkan. Di tengah pandemi yang semakin meluas di tanah air, kebijakan itu bagai sebuah paradoks.
Namun, pemerintah kemudian berubah pikiran setelah melihat penolakan publik, termasuk penolakan dari Gubernur dan anggota DPRD Sultra. Pihak perusahaanpun memutuskan untuk menunda sementara kedatangan TKA dari China hingga kondisi yang memungkinkan.
Kemudian, pemerintah juga mengambil kesempatan melakukan pengesahan RUU Ciptaker dengan senyap di balik pandemi. Pandemi dijadikan tempat berlindung untuk memperlancar Omnibus Law. Buruh menilai proses penyusunan RUU Ciptaker tidak demokratis, cacat prosedur dan mendaur ulang pasal inkonstitusional. RUU itu ditakutkan akan mempermudah pengusaha meraih keuntungan dengan cara merampas kesejahteraan rakyat. Aksi dan suara buruh dibungkam dengan dalih pandemi dan pembatasan sosial karena khawatir penyebaran virus.
Lanjut, pada 15 Februari lalu, Menteri Ketenagakerjaan resmi mengizinkan industri padat karya yang terdampak pandemi untuk memangkas upah buruh. Perusahaan dapat melakukan penyesuaian cara pembayaran dan penyesuaian besaran upah buruh sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Ditakutkan, para pengusaha nakal akan mengambil kesempatan untuk memaksa memotong upah buruh secara keterlaluan.
Kebijakan ini akan semakin memiskinkan buruh. Sebelumnya, tanpa ada regulasi ini, para pengusaha pun sudah melakukan pemotongan upah. Kini pemerintah bukannya melindungi, malah memfasilitasi lewat peraturan menteri. Pemotongan upah ini akan berdampak bagi situasi ekonomi, daya beli dan konsumsi. Pemerintah harus mengkaji ulang aturan ini. Sudah cukuplah para buruh menderita lantaran pemerintah tak lagi mengadakan bantuan subsidi upah sejak awal tahun.
Tak hanya itu, ada lagi beberapa kebijakan lain yang menekan buruh dari berbagai sisi. Pertama, melalui SE Menaker No. M/6/HI.00.01/V/2020, pemerintah melepaskan tanggung jawab perusahaan untuk membayar THR. Kedua, pemerintah menggunakan dalih pandemi untuk tidak menaikkan upah minimum 2021. Ketiga, akan terjadi lonjakan TKA lantaran dibukanya investasi asing. Keempat, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang semakin membebani buruh dan rakyat yang kehilangan mata pencaharian sebab pandemi.
Begitulah cerita miskinnya para buruh selama setahun lebih dilanda pandemi. Pemerintah perlu mengkaji ulang berbagai kebijakan. Tetapkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan buruh, bukan malah mempermudah pengusaha untuk melakukan pemerasan. Jangan mentang-mentang kabinet “seribu” pengusaha, lalu menerapkan kebijakan yang dirasa menguntungkan saja.
Pemerintah tugasnya tak hanya mendata, namun harus melindungi buruh. Misalnya, dengan mengeluarkan peraturan yang tegas agar perusahaan tidak melakukan PHK pekerja tanpa alasan yang benar-benar jelas. Iklim perekonomian Indonesia akan anjlok, jika PHK tidak dapat dikendalikan.
Saya ulangi sekali lagi, buruh merupakan pahlawan perekonomian bangsa. Jika buruh sejahtera, maka negara sejahtera. Jika buruh miskin, maka negara miskin!
Penyunting: M Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.