Reporter: Joy Natalia Sidabutar / Zalfaa Tirta
Suara USU, Medan. Hari Natal sudah di depan mata! Dalam rangka menyambut momen yang telah ditunggu-tunggu, Natal yang penuh dengan suka cita ini tentu tak lengkap rasanya tanpa adanya perayaan spesial, mulai dari menghias pohon natal hingga bertukar kado. Tak berhenti di situ, uniknya tiap daerah di Indonesia memiliki ragam tradisi unik dalam merayakan momen Natal. Dari Sabang hingga Merauke menelusuri keanekaragaman tradisi Natal yang memperkaya kisah perayaan keagamaan ini di berbagai penjuru nusantara.
- Mandok Hata – Sumatera Utara
Mandok Hata adalah sebuah tradisi dari suku batak yang dilakukan di setiap malam tahun baru. Mandok hata sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh yang beragama Kristen, sejatinya Mandok Hata adalah tradisi suku Batak. Mandok Hata menjadi salah satu kegiatan identik di bulan Desember setelah Natal.
Acara sederhana Mandok Hata dilakukan setelah ibadah kebaktian (bagi yang beragama Kristen) di rumah masing masing. Di awali dengan penuturan permintaan maaf dari anak kepada orang tua dan sebaliknya atas kesalahan yang telah mereka perbuat selama setahun ke belakang, dilanjut dengan ungkapan terima kasih dan rasa syukur kepada masing masing anggota keluarga. Tak lupa, para orangtua akan memberikan wejangan dan nasihat kepada anak anaknya. Mandok Hata menjadi refleksi sebuah keluarga untuk menjadi lebih dekat dan lebih hangat di masa depan.
- Ngenjot dan Penjor – Pulau Bali
Jika biasanya pohon cemara sebagai ikon hiasan Natal, berbeda di Bali. Umat Kristiani menghias Gereja dan rumah dengan Penjor. Penjor sendiri terbuat dari janur kuning yang dihias. Penjor memiliki simbol dari Naga Basuki yang artinya kemakmuran. Orang-orang yang merayakan Natal di Bali menggantung Penjornya di berbagai tempat, seperti di Gereja, rumah, hingga di tempat kerja mereka.
Lalu, tradisi Ngejot sendiri adalah tradisi berbagi makanan sebagai bentuk rasa syukur dan suka cita menjelang Natal. Biasanya mereka akan memasak makanan lalu dibagi-bagikan ke tetangga sekitar. Tradisi ini bertujuan menjalin dan selalu menjaga tali Silahturahmi.
- Kunci Taon – Makasar
Suatu tradisi di Makasar yang tetap berlangsung hingga saat ini adalah Kunci Taon, yang memiliki keunikan tersendiri. Kunci Taon diartikan sebagai upacara untuk merayakan pergantian tahun. Tradisi ini dimulai pada awal bulan Desember dengan serangkaian kegiatan ibadah di Gereja, yang kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke makam keluarga. Menariknya, kunjungan tersebut tidak hanya untuk berdoa, melainkan juga melibatkan penghiasan makam oleh masyarakat Manado. Lampu hias seringkali diletakkan di atas makam untuk menambah kecantikan dan keindahan.
Meskipun dimulai pada awal Desember, puncak perayaan baru terjadi pada minggu pertama bulan Januari. Tradisi ini diakhiri dengan sebuah festival yang diadakan di sekitar kampung atau kota. Biasanya, pemuda-pemuda akan mengikuti pawai dengan mengenakan kostum unik. Selain berjalan keliling, seringkali hadiah-hadiah yang telah dibungkus rapi dibagikan selama pawai, khususnya kepada anak-anak, sehingga nuansa Natal masih dapat dirasakan meskipun tahun telah berganti.
- Malam Takbiran Natal – Maluku
Tradisi Malam Takbiran secara umum terkait dengan perayaan Idul Fitri, tetapi di Maluku, masyarakat sering mengadakan acara Malam Takbiran Natal. Saat itu, umat Kristen berkumpul untuk menyanyikan lagu-lagu Natal dan Takbiran sebagai bentuk ekspresi kegembiraan.
Masyarakat merayakan Natal melalui berbagai kegiatan ibadah, termasuk Misa malam Natal di Gereja. Selain itu, mereka juga kerap menghias rumah dan gereja dengan lampu-lampu Natal, pohon Natal, serta bernyanyi lagu-lagu Natal. Pada malam Natal, beberapa keluarga bisa berkumpul untuk merayakan bersama dengan makan malam khusus Natal.
- Rabo-Rabo – Jakarta
Tradisi Rabo-Rabo adalah perayaan Natal dan Tahun Baru umat Kristen di Kampung Tugu, yang merupakan tradisi unik Betawi. Sejarah identitas Orang Kampung Tugu kuat karena keberadaan Orang Portugis yang membentuk kebudayaan khas, termasuk tradisi Rabo-Rabo.
Menjelang Natal, umat Kristen di Kampung Tugu merayakan Rabo-Rabo dengan semarak. Istilah “Rabo” berasal dari bahasa Portugis yang berarti ekor, mengacu pada kewajiban dari tradisi ini. Prosesi Rabo-Rabo dimulai dengan kunjungan ke Gereja dan ibadah beramai-ramai. Setelah itu, masyarakat melanjutkan tradisi dengan saling silaturahmi dan memaafkan kesalahan.
Tradisi ini berlangsung dari Natal hingga Tahun Baru di masyarakat Kristen Kampung Tugu. Selain itu, mereka menyemarakkan acara dengan seni tradisi Keroncong Tugu dan mengarak di jalanan serta rumah-rumah warga. Rute acara diatur oleh Ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT). Saat berkunjung ke rumah penduduk, mereka berciuman pipi sambil bernyanyi dan berjoget bersama.
Redaktur: Tamara Ceria
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.