Oleh : Beby Cahya
Suara USU, Medan. “Banda: The Dark Forgotten Trail” adalah dokumenter sejarah Indonesia yang menggali sejarah kaya dan penuh gejolak Kepulauan Banda. Jay Subiakto sebagai sutradara dalam film ini, memberikan gambaran tentang perdagangan rempah global Kepulauan Banda, terutama pala, selama era kolonial.
Dalam film ini, diperlihatkan Kepulauan Banda pada abad ke-17 yang menjadi pusat perdagangan rempah, yaitu pala. Pada masa itu, Banda menjadi satu-satunya tempat dimana pohon pala tumbuh, menjadikannya sangat berharga bagi bangsa-bangsa Eropa yang berlomba-lomba menguasainya. Karena pala menjadi komoditas dagang bernilai sangat tinggi, segenggam pala pada masa itu dianggap lebih berharga daripada satu peti emas.
Film ini secara rinci membahas bagaimana kedatangan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mengubah kehidupan di Banda selamanya. Banda, surga pala yang dibanggakan masyarakatnya dijajah dan dijarah oleh koloni Belanda. Belanda dengan upayanya memonopoli perdagangan pala, menggunakan taktik kekerasan, dan mengintimidasi penduduk Banda untuk menjual palanya hanya kepada mereka. Film ini juga tidak ragu untuk menampilkan kekejaman yang terjadi, termasuk penyiksaan dan pembantaian massal terhadap masyarakat Banda dibawah pemerintahan Jan Pieterszoon Coen yang menyimpan dendam akibat kematian Laksamana Verhoeven.
Melalui wawancara dengan para sejarawan, film ini memberikan perspektif yang mendalam mengenai dampak kolonialisme terhadap masyarakat Banda. Penduduk Banda yang awalnya berjumlah 15.000 orang, hanya tersisa 1.000 orang. Sebagian besar dari mereka telah terbunuh, melarikan diri dan dijadikan budak. Para ahli sejarah yang diwawancarai dalam film ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang efek jangka panjang dari penjajahan.
Tidak hanya membahas komoditas, film ini juga menyorot upaya pelestarian budaya dan sejarah Banda oleh penduduk setempat. Dituturkan oleh salah satu sejarawan, bahwa penduduk lokal berusaha menjaga tradisi-tradisi lama seperti tarian Cakalele dan upacara adat lainnya, meskipun di tengah tantangan modernisasi dan globalisasi.
Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari film ini adalah sinematografinya yang mengungkap keindahan pulau Banda dan dikombinasikan dengan musik tradisional Indonesia, sehingga penonton bisa merasakan kehidupan di Kepulauan Banda pada masa itu. Baik keindahan alam ataupun kekejaman kolonialisme terlihat kontras mewarnai isi film.
Lukman A. Ang, seorang sejarawan lokal asal Banda Neira mengungkapkan harapannya bahwa dengan adanya film ini, generasi muda dapat lebih mempelajari sejarah. Menurutnya, sejarah itu mengajarkan tentang siapa kita di masa lalu, bagaimana kita di hari ini, dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Secara keseluruhan, “Banda: The Dark Forgotten Trail” tidak hanya sebuah film dokumenter, tetapi juga sebuah karya yang mendidik dan menggugah kesadaran tentang dampak kolonialisme yang seringkali terabaikan dalam sejarah. Kombinasi antara sinematografi yang memukau dan narasi yang mendalam membuat film ini layak menjadi sebuah tribute bagi perjuangan masyarakat Banda. Film ini tidak hanya menceritakan kekayaan komoditas ataupun tragisnya kolonialisme, tetapi juga menginspirasi untuk terus menjaga warisan budaya dan menghormati perjuangan para leluhur. Dengan menyaksikan film ini, penonton diajak untuk merenungkan kembali sejarah dan mengambil pelajaran berharga untuk masa depan.
Redaktur: Evita Sipahutar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.