Penulis: Luthfiah Amanda Putri
Suara USU, Medan. “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran” – Pramoedya Ananta Toer.
Tahukah sobat Suara USU tragedi penangkapan para aktivis yang dianggap terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September PKI oleh rezim Orde Baru pada tahun 1969?
Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang dari ratusan tapol yang ditahan dan diasingkan di sebuah pulau kecil di kepulauan Maluku, tepatnya di Pulau Buru. Pramodya ditangkap tanpa surat pengadilan, ditahan tanpa peradilan, dan akhirnya dibuang dan dipaksa tinggal dalam camp di sebuah pulau terpencil selama bertahun-tahun.
Meski terasing dari kehidupan normal, Pramoedya berhasil menulis sembilan karya sastra, termasuk naskah awal karya masterpiece-nya yakni “Tetralogi Pulau Buru”. Saat di Pulau Buru, Pram menghabiskan masa tahanannya dengan membuat karya tulis. Di Pulau Buru inilah, di tengah penyiksaan dan penderitaan, Novel berjudul Bumi Manusia dilahirkan.
Novel Bumi Manusia merupakan bagian pertama dari empat seri Tetralogi Pulau Buru. Diterbitkan pada tahun 1980, salah satu karya sastra terbaik ini ditulis berdasarkan latar belakang zaman kolonial Belanda di awal abad ke-20.
Mengisahkan perjalanan hidup Minke, seorang pribumi Jawa yang mendapat kesempatan menempuh pendidikan tinggi di HBS dikarenakan golongannya sebagai keturunan priyayi, dan juga kepintaran yang dimiliki Minke membuatnya dapat peringkat pertama di seluruh Surabaya.
Minke merupakan intelektual serta penulis yang kritis terhadap tatanan kolonial yang menindas. Ia berusaha memahami dan melawan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakatnya khususnya masyarakat pribumi.
Meskipun Minke merupakan anak seorang bupati yang akan diberikan jabatan sebagai bupati pula, namun Minke menolak jabatan itu dengan perkataannya pada ibunya yang mempertegas bahwa ia ingin menjadi orang yang bebas. “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah dan tidak juga memerintah.”
Tidak hanya berfokus kepada Minke, kisah ini juga menyorot Annelies dan Nyai Ontorosoh yang kelak menjadi istri dan mertua Minke. Nyai Ontorosoh, ibu dari Annelies digambarkan sebagai wanita pribumi yang berani dan cerdas. Seorang pribumi yang berhasil melawan sistem patriarki dan feodalisme dengan kecerdasan dan kekuatannya sendiri. Dari Nyai Ontorosoh, Minke belajar tentang keberanian dan ketahanan menghadapi penindasan. Nyai Ontorosoh menjadi mentor dan simbol perlawanan bagi Minke.
Kisah ini juga menceritakan perjalanan cinta Minke dengan Annelis yang penuh dengan lika-liku. Annelies yang digambarkan sebagai anak gadis yang cantik, cekatan tetapi lemah secara fisik dan sangat bergantung pada orang yang dicintainya. Hal ini membuat Minke harus tinggal di rumah Annelies dan menjaganya demi keselamatan hidup Annelies yang selalu membutuhkan Minke berada di dekatnya.
Novel Bumi Manusia sempat mengalami pelarangan di Indonesia pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Buku ini ditarik dari peredaran, dan segala bentuk distribusi, penjualan, maupun pembacaannya dilarang. Hal ini dikarenakan rezim orde baru sangat sensitif terhadap kritik dan gagasan yang dianggap subversif atau yang dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap pemerintah.
Bumi Manusia bukan hanya sebuah novel sejarah, tetapi juga sebuah karya sastra yang mendalam tentang perjuangan, cinta, dan identitas.
Redaktur: Khaira Nazira
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.